Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 11 Februari 2016 menjadi tonggak penting karier kesenimanan pelukis empat zaman, Srihadi Soedarsono. Menandai 70 tahun berkarya di dunia seni rupa, seniman yang terkenal santun dan berwawasan luas ini kembali menggelar pameran tunggal bertajuk Srihadi Soedarsono: 70 Tahun Rentang Kembara Rasa, di Galeri Nasional pada 11-24 Februari.
Tercatat 400 lukisan dengan beragam media, utamanya kertas --yang belum pernah diperlihatkan kepada khalayak pencinta seni rupa-- akan menghiasi dinding pamer Galeri Nasional. 400 karya yang dipamerkan berbenang merah yang kuat, yakni hasil kontemplasi mendalam yang berkelindan dengan filsafat, agama, ilmu pengetahuan, dan seni.
Srihadi menuturkan prosesnya dalam berkarya tidak lepas dari rasa atau roso –dalam bahasa Jawa- yang didapatkannya selama ini. Maestro lukis yang tahun ini genap berusia 84 tahun tersebut menuturkan, pengalaman transenden, ide artistik, dan energi yang memancar dari dalam tubuh semuanya bersatu dalam roso.
“Dari awal berkarya itu yang keluar adalah roso dari kalbu.Roso itu menggali apa yang keluar dari dalam diri kita, dan mengembara,” ujarnya.
Dimensi rasa yang dirasakan cukup mendarah daging dalam diri sang maestro tidak dapat dilepaskan dari akar budaya Jawa yang dikenalnya sejak lahir. Kekayaan tradisi Jawa yang memaknai segala sesuatu atas dasar keselarasan dan keseimbangan hidup, dipahami betul oleh Srihadi.
Konteks harmonisasi antara jagat alit (mikrokosmos) dan jagat ageng (makrokosmos) dijadikannya pegangan dalam berkarya.
Kurator pameran A. Rikrik Kusmara menuturkan, dalam pameran tunggal Srihadi kali ini, publik seni rupa akan melihat karya lukis yang dibuat di atas media kertas. Teknik drawing, sketsa, dan cat air yang menjadi catatan perjalanan 70 tahun berkarya, dan selama ini menjadi arsip pribadi, akan diperlihatkan kepada khalayak.
Dari persembahan tersebut, para pencinta seni dapat dengan mudah melihat rekam jejak sejarah yang terjadi sejak era perjuangan melawan Belanda pada 1940-an. Dokumentasi karya tersebut tidak lepas dari konsistensi Srihadi dalam mengarsipkan karya sejak berusia 14 tahun.
Srihadi memang dikenal sebagai pelukis yang sangat cermat dan apik mendokumentasikan seluruh karya seni rupanya.
Berdasarkan arsip yang tersimpan di studio Srihadi, terkumpul sketsa, drawing, dan cat air yang dibuat pada periode 1946-2007. Karya-karya ini dengan sangat rapi ditandatangani, berikut diberikan keterangan spesifik a.l. tahun pembuatan, lokasi, dan konteks pembuatannya.
Dalam tumpukan arsip ini, juga ditemukan karya yang dibuat berdasarkan proyek khusus yakni saat mengikuti program residensi di Singapore Tyler Prints Institute pada 2005. “Dari hasil seleksi terkumpul kurang lebih 400 karya media kertas dari beragam ukuran,” ujar Rikrik.
Pendokumentasian karya tersebut merupakan bukti bahwa Srihadi Soedarsono begitu berperan dalam sejarah perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di Tanah Air.
THE ART OF SIMPLICITY
Para pencinta seni rupa selama ini mengenal karya Srihadi yang sangat fenomenal adalah serial penari bedoyo Jawa dan Bali. Gaya impresionis ekspresif, termasuk dasar koreografi yang dimiliki karena darah biru dari Keraton Surakarta yang mengalir dalam dirinya, dan lama tinggal di Bali, membuatnya menjadi maestro berciri khas yang kuat. Kesederhanaan dan pilihan warna yang dipilihnya membuat karya yang dimilikinya sangat universal, tetapi dapat ‘berkomunikasi’ dengan khalayak.
Kesederhanaan dalam karya Srihadi jika direnungi lebih dalam bukan berarti remeh. Justru kesederhanaan yang digoreskannya di atas kanvas atau kertas, melalui perenungan yang dalam. Mengapa?
Membuat karya yang sederhana tetapi sangat dalam pemaknaannya, dapat dipastikan pelukisnya adalah orang yang luar biasa sabar, dan sangat terampil dalam menahan diri. Terampil dalam memilih mana yang harus ditorehkan, digoreskan, diarsir, atau dibuang.
Tidak mengherankan jika banyak ahli yang berpendapat bahwa filosofi kesederhanaan dan keseimbangan dalam budaya Jawa, sangat beririsan dengan Zen. Contoh yang paling penting dapat Anda simak lukisan dengan objek horizon dan Borobudur.
Lukisan Srihadi dengan tema ini memiliki filosofi dan arti yang simbolis. Kembali lagi, latar belakang budaya Jawa merupakan landasannya dalam memahami sistem nilai, etika, dan estetika. Temuan makna dari horizon didapatkan suami dari Sitti Farida ini.
Tidak berhenti pada objek lanskap, dan objek manusia, ternyata Srihadi juga memiliki karya yang bertema kritik sosial. Salah satunya adalah lukisan Air Mancar (1973) yang sempat membuat berang Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang menjabat pada periode 1966-1977. Lukisan Air Mancar merupakan bentuk kritik sosial Srihadi atas kesemrawutan kota Jakarta, yang menjadi ibu kota negara.
Namun, konflik kedua tokoh ini diselesaikan dengan baik, bahkan Gubernur Ali Sadikin secara resmi meminta maaf. Srihadi bahkan berkesempatan untuk membuat mural berjudul Jayakarta (1975) yang berukuran 3x12 meter.
“Kita harus sensitif dalam hidup. Di usia yang ke-84 ini saya berkeinginan untuk seterusnya berkarya di bidang seni rupa. Seniman itu tidak ada pensiunnya. Yang penting adalah karya yang berkualitas, agar tidak mentok. Jadi saya bersyukur sampai hari ini masih bisa berkarya. Bersyukur kepada Tuhan,” tuturnya.