Bisnis.com, JAKARTA - Wortel, kol, pete, kacang panjang, terong, dan beberapa jenis sayuran lainnya bertumpuk tidak teratur di sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Keranjang tersebut ada di sebuah dapur. Bukan dapur modern, karena di sana terlihat sebuah kompor minyak beserta penggorengan di atasnya. Di dekat kompor, ada beberapa tempe yang masih terbungkus daun.
Di sudut lain, terdapat karung yang di atasnya teronggok buah pisang. Ada pula botol yang kemungkinan berisi kecap. Dapur beserta isinya tersebut terlihat sangat nyata pada lukisan karya Rustamadji berjudul Dapur (cat minyak di atas kanvas, 1981). Lukisan realis tersebut dipajang bersama beberapa lukisan lainnya dalam Pameran Lukisan Periode 1940-1960 #1 Koleksi Bentara Budaya. Pameran berlangsung di Galeri Sisi, Bentara Budaya Jakarta pada 24 Februari-24 April 2016.
Menurutnya Kurator Bentara Budaya Ipong Purnomo Sidi, yang dimaksud periode 1940-1960 bukanlah periode dimana lukisan tercipta, tapi periode dimana para senimannya aktif. Karena itu, pada beberapa lukisan yang dipamerkan tertera tahun di luar 1940-1960.
"Kami ingin memamerkan lukisan yang lama terpingit karena tersimpan di gudang," katanya.
Untuk pameran kali ini, dipilih lukisan karya para maestro lukis Indonesia. Mereka aktif pada 1940-1960, saat itu organisasi Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) sudah mulai berjalan. Dapat dikatakan, 1940-1960 adalah masa keemasan di sejarah seni lukis Indonesia karena mulai munculnya kesadaran atau nasionalisme bahwa Indonesia memang memiliki pelukis-pelukis yang punya gaya berbeda dengan Belanda.
Secara teknis, para maestro memiliki ciri khas masing-masing. Bagi Ipong, seniman besar sudah selayaknya memiliki jiwa ketok atau jati diri. Affandi misalnya, yang berkarya secara spontanitas.
Ciri khas Affandi terlihat jelas pada lukisan Potret Diri (cat minyak di atas kanvas, 1981). Lukisan yang menggambarkan wajahnya dan tengah memegang cerutu. Menurut Ipong, Affandi menggunakan pelototan cat, karena keinginannya untuk segera menyelesaikan lukisan. Sang maestro tidak harus menggunakan kuas untuk berkarya. Affandi juga banyak menampilkan karya yang memperlihatkan ruang terbuka.
Lukisan lainnya yang dipamerkan antara lain karya Otto Djaja berjudul Ramah Tamah di Malam Resepsi (cat minyak di atas kanvas, 1960) menggambarkan sebuah pesta di rumah mewah. Para tamu berdiri sembari bercakap-cakap satu sama lain, mereka adalah kaum pribumi beserta para ekspratriat. Perbedaan mereka terlihat dari cara berpakaian, warna rambut, serta tinggi badan. Kaum pribumi perempuan menggunakan kebaya dengan rambut hitam yang disanggul. Kaum ekspatriat perempuan menggunakan gaun dengan bagian bahu terbuka dengan rambu pirang. Sementara para pria baik pribumi maupun ekspatriat menggunakan sama-sama menggunakan jas.
Beberapa lukisan lainnya juga menggambarkan sosok perempuan berkebaya. Lukisan Istri (cat minyak di atas kanvas, 1970) karya Soedibio menggambarkan perempuan berkebaya yang duduk dengan anggun di sebuah bangku. Perempuan itu nampak tengah menanti sesuatu. Pada beberapa bagian tubuhnya menempel perhiasan, sementara pada bahunya tersampir selendang.
Sementara lukisan Bakul Yogya (cat minyak di atas triplek, 1986) karya Sudarso memperlihatkan perempuan berkebaya yang merupakan seorang bakul--sebutan untuk pedagang dalam Bahasa Jawa. Tidak jelas apa yang dia jual karena dia hanya terlihat membawa keranjang sembari duduk.
Ada pula lukisan Wanita Yogya (cat minyak di atas kanvas, 1953) karya Hendro Djasmoro, yang nampak seperti potret perempuan berkebaya hijau, dengan rambut disanggul.
Kemeriahan pesta Cap Go Meh terlihat pada lukisan Cap Go Meh (cat minyak di atas kanvas, 1990) karya Basoeki Resobowo. Cap Go Meh adalah perayaan hari kelima belas Imlek. Dalam lukisan terlihat pemain barongsai lengkap dengan musiknya di tengah arak-arakan.
Pameran juga menampilkan nama-nama maestro lainnya seperti Hendra Gunawan, S. Sudjojono, dan Trubus Soedarsono.