Bisnis.com,JAKARTA-Dewi Kharisma Michelia baru berumur 22 tahun saat karyanya menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award 2015. Ini merupakan ajang penghargaan bagi karya sastra Indonesia yang dihelat setiap tahun sejak 2001. Perempuan muda ini bersaing dengan nama-nama besar seperti Leila S. Khudori dan A. S Laksana.
Michel, begitu alumni Universitas Gadjah Mada ini biasa di sapa, meramaikan jagat sastra dengan karyanya berjudul ‘Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya’. Dewan juri akhirnya memang memilih ‘Pulang’ milik Leila S. Khudori sebagai pemenang dalam ajang tersebut. Namun, kemunculan Michel di ajang turut menandai geliatpenulis muda yang kembali bergairah.
Tahun ini, Michel hadir dengan karya terbarunya berjudul A Copy of Mind. Novel ini merupakan adaptasi dari film Joko Anwar yang memiliki judul serupa. “Mengadaptasi cerita dari film menjadi novel membutuhkan tantangan tersendiri. Apalagi saya hanya diberikan waktu dua minggu,” katanya.
Michel tidak sendiri. Beberapa nama penulis muda usia 20-an mulai muncul menunjukkan prestasi. Dari Makassar, Faisal Oddang menjadi salah satu nama yang menjanjikan. Pada 2014 mahasiswa Universitas Hasanuddin ini diganjar penghargaan Asean Young Writer. Pria kelahiran 18 September 1994 ini dikenal melalui beberapa karya seperti cerpen ‘Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon’ dan novel ‘Puya ke Puya (Surga diciptakan Karena…). Novel tersebut juga menjadi salah satu pemenang lomba menulis Dewan Kesenian Jakarta 2014.
Bagaimana sebenarnya perkembangan penulis muda usia 20-an di Indonesia? Michel menuturkan para penulis dari generasinya banyak yang hadir dengan karya yang lebih segar. Bahasa yang populis. Dengan sejumlah teknis penulisan eksperimental. Beberapa penulis muda juga mulai memantapkan derajat ketokohannya dalam dunia sastra Indonesia. “Dari sisi jumlah tidak ada masalah dengan penulis muda kita. Saya bisa menyebutkan banyak nama-nama yang potensial,” katanya.
Kendati demikian, Michel mengakui geliat penulis muda ini belum berhasil menghasilkan karya sastra monumental. Kita bisa menyebutkan karya-karya generasi 30-an ke atas yang populer di mata pembaca. Penutup cerita Supernova milik Dewi Lestari yang berjudul Intelegensi Embun Pagi misalnya. Dari ranah yang lebih populer, rasanya belum ada karya penulis muda ini yang mampu menandingi hype Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Pada akhir era 1980-an, Hilman Hariwijaya juga masih berusia 22 tahun saat cerita Lupus yang rutin terbit di Majalah Hai dibukukan. Lupus, tokoh fiktif yang berprofesi sebagai pelajar sekaligus wartawan ini berhasil menyemarakkan dunia kepenulisan saat itu. Silahkan tanya generasi 1990-an, siapa yang tidak kenal Lupus?
Di jagat sastra populer, saingan Lupus saat itu mungkin Roy Boy Haris yang diciptakan oleh Gola Gong. Saat merilis cerita Balada si Roy tersebut pada awal 1990-an, penulis dengan nama asli Heri H. Haris ini juga masih berada di usia 20-an.
Kembali ke masa kini, adakah karya penulis usia 20-an yang karyanya seheboh Lupus dan Balada si Roy? Dengan jujur Michel mengakui belum ada yang mampu mencapai derajat tersebut.
Perempuan keturunan Bali tersebut menuding peran kritikus sastra yang kurang mengapresiasi karya-karya penulismuda. Dia menuturkan, penulis generasi awal ini sangat membutuhkan kritik yang membangun agar bisa menghasilkan karya monumental. “Saat DKJ menggelar lomba kritik sastra saja hanya 20 peserta yang ikut,” katanya.
Dari ranah industri, Michel sebenarnya mengapresiasi keberanian para penerbit ini yang mau menampung karya-karya penulis muda. Namun, beberapa kebijakan dianggap masih menghambat. Salah satunya dalah durasi display buku yang tidak lama.
Tidak mengherankan juga jika akhirnya pasar sastra anak muda ini justru di isi oleh penulis kawakan seperti Tere Liye. Di kalangan yang lebih muda, nama Raditya Dika juga bisa disebut mengisi pasar anak muda ini.
Penulis sekaligus pengamat budaya populer Hikmat Darmawan menilai apa yang terjadi pada penulis generasi muda ini disebabkan karena banyak hal. Salah satunya adalah ketiadaan upaya dari pemerintah untuk menghadirkan karya-karya bermutu. Dia menilai saat ini penulis muda kehilangan referensi dari karya sastra kanon yang dulu sempat dipopulerkan di Tanah Air.
“Dulu pemerintah selalu mengisi perpustakaan-perpustakaan sekolah dengan sastra-sastra kanon dari penulis besar. Sekarang saya lihat mulai menyusut,” katanya.
Kendati demikian, dia menilai penulis muda bukan tidak memiliki potensi. Saat berkunjung ke berbagai daerah di Tanah Air, dia menemukan banyak penulis potensial yang justru kesulitan menghasilkan karya adiluhung. “Saya sempat curiga jangan-jangan tren global memang seperti itu. Tapi ternyata baik di Jepang atau Amerika jajaranpenulis muda ini tetap berhasil menelurkan karya-karya bagus yang akhirnya populer,” pungkasnya.
Dunia kepenulisan memang tidak akan pernah mati. Namun, rasanya kita merindukan karya-karya sastra segar daripenulis muda yang tidak hanya berkualitas tetapi juga laku di pasaran.