Bisnis.com, JAKARTA--Empat orang penari perempuan bergerak perlahan ke tengah panggung dengan iringan gamelan nan sakral.
Mereka pun mulai menyihir penonton dengan tarian yang memiliki gerakan lambat dan hikmat. Suasana yang tenang dan tentram kemudian menyelimuti Gedung Kesenian Jakarta, semua mata tertuju pada pertunjukan di atas panggung.
Tarian itu bernama Beksan Srimpi Pandhelori. Tarian ini adalah tarian sakral dari Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Nama Srimpi berasal dari kata impi atau mimpi. Konon, siapa yang menyaksikan tarian tersebut akan merasakan seperti sedang melayang ke sebuah alam lain, ke alam mimpi. Tarian ini pun merupakan sebuah sarana untuk mencapai ketenangan batin.
Pertunjukan malam itu tergolong istimewa dan langka. Bagaimana tidak, Beksan Srimpi Pandhelori adalah tarian yang mulanya hanya dipentaskan di lingkungan keraton dengan durasi yang cukup panjang. Seiring dengan perkembangan zaman, tarian ini mulai melangkah ke luar dari tembok keraton dengan durasi yang lebih singkat.
Tarian Beksan Srimpi Pandhelori tersebut merupakan bagian dari festival Langen Beksa Adihulung Keraton Nusantara yang berlangsung pada Rabu (11/5/2016).
Masih ada empat tarian sakral lain yang dipentaskan yaitu Lelangen Beksan Pitutur Jati dari Pura Pakualaman Ngayogyakarta Hadiningrat, Legong Keraton Asmaranda dari Puri Agung Karangasem, Bedhaya Duradasih dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Bedhaya Diradameta dari Pura Mangkunagaran Surakarta Hadiningrat.
Tarian terakhir yaitu Bedhaya Diradameta rupanya pernah terkubur selama sekitar 250 tahun. Tarian ini baru dipentaskan kembali beberapa tahun terakhir.
“Tari ini mulai dipentaskan lagi sejak 2007,” kata Ali Marsudi, salah satu Penari Bedhaya Diradasmeta.
Menurutnya, pihak berwenang yang melakukan rekonstruksi tarian tersebut memerlukan waktu yang cukup lama mengingat yang tertinggal dari tarian hanyalah bukti-bukti tertulis.
Bedaya Diradameta tak kalah mempesona dengan tarian lainnya. Sebanyak tujuh orang laki-laki membawakan tarian ini. Sesekali, nampak gerakan yang menyerupai orang-orang sedang berperang, tetapi terlihat sangat halus.
Tarian tersebut menceritakan peristiwa peperangan Laskar Pangeran Sambernyawa yang melawan pasukan Kompeni di hutan Sitakepyak sebelah selatan Kota Rembang.Peperangan itu terjadi pada Senin Pahing, 17 Sura Tahun Wawu 1681 Jawa (1756 M). Pada perang itu, terdapat 85 orang pasukan Belanda tewas dan 15 orang pasukan Pangeran Sambernyawa yang gugur.
Saat merekonstruksi tarian sakral, menurut Ketua Penyelenggara Langen Beksa Adihulung Keraton Nusantara Danang Purbaningrat terdapat kendala dari segi bahasa, karena banyak litelatur yang menjadi sumber utama menggunakan huruf Jawa sehingga perlu proses penerjemahan terlebih dahulu.
Pertunjukan Langen Beksa Adihulung Keraton Nusantara digelar untuk memperkenalkan tarian sakral keraton kepada generasi muda, karena tarian-tarian tersebut cenderung kurang dikenal.
“Jangan sampai nanti ada negara lain yang mengakui budaya Indonesa sebagai karya mereka,” katanya.
Danang menyebutkan keraton merupakan sumber seni dan budaya yang akurat. Dahulu, lanjutnya, tarian-tarian tertentu memang hanya boleh dipertontonkan di keraton. Sebelum tampil, para penarinya pun harus mengikuti ritual khusus seperti mandi dan berpuasa.
Di era modern ini, keraton memiliki kebijakan untuk membuka diri, membaur dengan masyarakat luas. “Karena ketika menutup diri, tidak akan bisa berkembang,” katanya.