Bisnis.com, JAKARTA - Para animator di Indonesia semakin getol unjuk kemampuan dalam beberapa tahun terakhir. Buktinya, karya-karya mereka kian jamak dijumpai mulai di layar media dalam jaringan (daring), layar kaca, hingga layar lebar.
Salah satu animator lokal yang tengah naik daun adalah Cak Ikin. Pria yang bernama asli Mohammad Sholikin itu melejit di dunia maya melalui karyanya Culo Boyo, yang menjerat jutaan pasang mata penonton dan belasan ribu pelanggan di situs YouTube.
Cak Ikin juga adalah salah satu animator lokal yang karyanya banyak dilirik oleh stasiun televisi. Bagaimanapun, dia mengaku berprofesi sebagai animator di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang menghadang karier seorang animator lokal.
Selain industri animasi yang belum terbangun, lapangan kerja dan ceruk pasar yang terbatas menjadi kendala lainnya. Itu pula yang menjadi alasan banyaknya animator lokal berbakat yang lebih memilih mencari peruntungan di luar negeri.
Lantas, apalagi problematika yang dihadapi oleh dunia animasi dan para animator lokal di Indonesia. Berikut penuturan Cak Ikin:
Sejak kapan dan bagaimana awal mula aktif menjadi animator?
Saya mulai memproduksi animasi pada 2005, dimulai dari aktivitas di komunitas film independen. Pada saat itu, masih belum ada komunitas yang khusus untuk film animasi. Pada 2005—2009, saya mulai dibantu distribusi oleh komunitas INFIS.
Waktu itu, masih belum ada agenda rutin oleh para animator lokal. Mereka baru kumpul bersama kalau ada acara saja, seperti festival atau pemutaran film. Baru 2009—2010 saya mulai membikin pemutaran film mandiri khusus animasi.
Kalau ada sponsor yang mau menyediakan venue, saya mengumpulkan rekan-rekan sesama animator untuk memutarkan karya-karya mereka bersama. Sebab, saat itu belum banyak studio animasi. Para animator lebih banyak bekerja dalam kelompok independen 2—3 orang.
Selain Culo Boyo, apa saja karya terkenal Anda yang lain?
Pada 2005 saya membuat serialGatotkaca. Saya terus aktif menggarapnya hingga 2007. Baru setelah itu saya membuat animasiSuroBoyo hingga 2010-2011. Namun, animasi ini khusus dewasa karena mengandung bahasa kasar khas Surabaya.
Jadi, pemasarannya terbatas melalui komunitas-komunitas film indie. Lama-kelamaan, film SuroBoyo menyebar dan banyak diputar di internet. Akibatnya, banyak anak kecil yang ikut-ikutan menontonnya.
Dari situ saya lalu membuat CuloBoyo, dengan alur cerita dan gaya bahasa yang bisa dikonsumsi oleh khalayak umum. Pendistribusiannya melalui media daring, yaitu situs YouTube.
Menurut Anda, apa tantangan untuk mengembangkan profesi animator di Indonesia?
Pertama, konsistensinya. Banyak animator yang tidak bisa konsisten membuat karya, karena memang industri animasi di Indonesia belum begitu menghasilkan. Padahal, para animator ingin perputaran uangnya bisa cepat.
Kalau dibilang sebagai pekerjaan, sebenarnya bukan juga. Sebab, menjadi animator tidak bisa menghasilkan gaji bulanan. Akibatnya, banyak orang yang terjun ke bidang animasi tapi tidak konsisten memproduksi karya. Hari ini bikin banyak animasi, setelah itu menghilang.
Hanya orang yangbenar-benar mencintai dunia animasi dan mengesampingkan masalah pendapatan yang bisa bertahan menjadi animator di Indonesia.
Kedua, kesulitan mencari sumber pendanaan proyek. Seperti saya bilang, industri animasi di Indonesia belum berjalan. Jadi, sulit sekali menemukan investor yang mau mempercayakan kapitalnya untuk mendanai proyek animasi lokal.
Mencari pembiayaan itu sulit sekali. Banyak rekan-rekan animator yang mencoba mencari jalan melalui distribusi ke stasiun TV. Namun, tohtak sedikit yang gagal; bertahan hanya 2 episode, atau syukur-syukur kalau bisa balik modal saja.
Ketiga, dukungan yang kurang dari pemerintah. Saya mengamati belakangan ini pemerintah memang mulai aktif membuat program-program untuk mengembangkan dunia animasi dalam negeri. Namun, tidak konsisten alias timbul tenggelam.
Saat akhir tahun, biasanya bentuk dukungan itu akan terlihat. Namun, setelah itu menurun dan menghilang. Bentuk dukungannya selama ini lebih ke seminar atau mengadakan lomba. Akan tetapi, tidak ada program lanjutan dari lomba-lomba itu.
Setelah menang lomba, lalu apa? Mau dikemanakan? Tidak ada kejelasan. Tidak hanya itu, program yang digelar antarinstansi pemerintahan juga kerap kali tidak sinkron. Misalnya, program dari Kemenperin berbeda dengan Bekraf atau Kemendikbud. Ini tidak efektif.
Keempat, lapangan kerja yang terbatas. Memang benar saat ini sudah semakin banyak SMK khusus animasi. Banyak juga diadakan LKS (Lomba Kompetensi Siswa) SMK. Namun, setelah mereka menang, bibit-bibit unggul itu tidak dipupuk.
Banyak sekali generasi animator muda yang skill-nya sangat bagus, tetapi setelah lulus SMK mereka bingung mau ke mana karena industri animasinya belum terbangun. Bahkan mencari tempat magang saja susah. Akhirnya, banyak dari mereka yang ‘dipesan’ oleh Malaysia.
Sejauh mana peluang atau ceruk pasar animasi lokal yang tersedia di Indonesia?
Peluangnya sebenarnya ada, hanya saja dukungannya yang kurang. Animator membutuhkan modal yang sangat besar untuk berkarya. Kadang, untuk mendapatkan modal itu, animatornya harus kreatif mencoba peluang jualan, seperti merchandizeatau CD.
Namun, tahu sendiri, di Indonesia CD dari label besar saja banyak dibajak apalagi yang buatan independen. Itulah mengapa banyak animator yang akhirnya putus asa dan tidak fokus menghasilkan karya secara berkesinambungan.
Banyak animator dalam negeri yang lebih memilih mencari peruntungan jalur distribusi melalui televisi. Namun, tentunya tidak mudah. Bahkan, sekarang ini, bukan animatornya yang di-propose oleh pihak TV, tapi justru animator yang membeli slot tayang di TV.
Kalau mau mencoba peruntungan di layar lebar, peluangnya ada, tetapi lebih susah lagi. Banyak yang mencoba tapi gagal. Bahkan, film seperti Battle of Surabaya belum bisa dijadikan tolok ukur film animasi Indonesia bisa sukses di layar lebar. Animo penonton di dalam negeri terhadap animasi lokal masih kurang.
Dari segi apresiasi masyarakat, bagaimana yang didapatkan selama ini?
Biasa-biasa saja, tidak cukup kuat. Bisnis layar lebar itu selalu mengikuti contoh sukses. Misalnya, kalau ada film horor yang sukses dan laku kera dijual, pasti banyak investor yang mau memodali film-film bergenre sejenis.
Lalu, kalau satu film drama Islami sukses, pasti film-film bertema sejenis akan bermunculan setelahnya. Namun, hingga saat contoh sukses itu belum terjadi di film animasi. Battle of Surabaya yang katanya bisa menjadi contoh sukses, pada kenyataannya juga enggak.
Setelah film Battle of Surabaya, tohternyata judul-judul film animasi lokal tidak menjadi tren di layar lebar. Investor masih banyak yang belum mau mengucurkan uang untuk memodali film animasi lokal.
Apa penyebabnya? Salah satunya karena masyarakatnya sendiri. Para penonton Indonesia akan selalu membandingkan film animasi lokal dengan buatan asing. Apalagi, kalau pada saat bersamaan ada film animasi asing yang diputar.
Bayangkan saja, jika Anda menonton dan harus membayar tiket, tentunya Anda akan memilih menonton yang dibuat oleh studio terkenal seperti Pixar atau DreamWorks. Mereka yang memilih nonton film animasi Indonesia sebenarnya lebih didorong rasa penasaran saja.
Kalau begitu apa yang masih kurang dari animasi lokal?
Sebenarnya yang paling penting dan seringkali terabaikan adalah penulisan plot atau alur cerita. Hingga saat ini, belum ada animasi lokal yang memiliki naskah yang bagus dan mengena.
Padahal, dari segi teknis gambar, para animator lokal semakin jago. Namun, mereka lupa bahwa selain teknik visual, untuk bisa memasarkan film di layar lebar dibutuhkan plot atau jalan cerita yang kuat.
Saat ini studio animasi semakin banyak di Indonesia, bagaimana Anda memandang fenomena ini?
Memang ini merupakan salah satu indikator kebangkitan industri animasi lokal. Namun, ini baru permulaan saja. Masih banyak yang harus dibenahi, dan jalan untuk menjadi besar masih sangat panjang.
Namun, dengan teknologi dan keberadaan media sosial saat ini, industri animasi dalam negeri punya medium yang bagus. Karya-karya animator lokal bisa lebih cepat dikenal orang. Ada banyak platform, misalnya melalui WebToon seperti Si Juki atau lewat YouTube.
Permasalahannya, banyak animator muda yang membangun studio animasi meskipun produk yang ditawarkan masih berupa service dasar. Misalnya, membuat animasi untuk iklan perusahaan, proyek arsitektur, pembangunan gedung, dan sebagainya. Tidak apa-apa sih kalau kondisinya begitu; yang penting dia harus bertahan.
Bagusnya, saat ini teman-teman animator Indonesia sudah mulai paham apa itu intellectual property [IP]. Jadi mereka mengembangkan IP supaya karakter yang mereka ciptakan bisa dikenal.
Yang jelas, perkembangan studio animasi dewasa ini semakin bagus. Banyak animator muda yang membangun studio animasi berbadan usaha. Salah satunya, ya itu tadi, karena kesempatan kerja yang kurang setelah lulus SMK, akhirnya mereka bikin studio sendiri.
Bagaimana dengan SDM-nya, apakah selama ini sudah memenuhi secara kualitas dan kuantitas?
Sebenarnya animator Indonesia itu berkualitas, dan jumlahnya banyak. Namun, banyak yang tidak bertahan atau dipekerjakan perusahaan asing di luar negeri.
Saat ini, Badan Ekonomi Kreatif [Bekraf] menginisiasi program animasi dengan konten lokal. Mereka melihat studio animasi semakin banyak, tapi tidak terdata. Oleh karena itu, para animator ini akan diinkubasi untuk dibina lebih jauh agar aktivitasnya tidak sporadis.
Persoalan apa yang menyebabkan banyaknya animator Indonesia yang memilih berkarier di luar negeri?
Inti permasalahannya adalah karena industri animasi di dalam negeri tidak kuat, sehingga belum bisa menjamin kesejahteraan para animatornya.Akhirnya, mereka berpikir untuk ke luar negeri saja.
Saat seorang animator punya karya, tetapi menikmati hasilnya lama sekali, lama-kelamaan dia berpikir untuk hengkang saja untuk bisa bertahan. Mereka lebih memilih dapat uang banyak di luar negeri, meskipun di sana mereka tidak berhak atas hak paten karyanya.
Animator banyak ke luar negeri, karena industri animasi di luar sudah terbangun. Kalau mereka bertahan saja di dalam negeri, terus bagaimana mereka bertahan? Hanya beberapa saja yang bisa menciptakan lapangan kerja dan bikin perusahaan dan karya komersial.
Bagaimana persaingan antaranimator lokal?
Saya lihat tidak terlalu ada kompetisi; yang ada malah saling bekerjasama. Saat satu studio menang proyek besar, misalnya dari stasiun televisi, dia akan langsung mengontak teman-teman animator di kota-kota lain untuk menggarap proyek itu bersama-sama.
Nah, karena lapangan kerja yang tidak banyak itu, akhirnya para animator dari berbagai daerah berkerja bersama-sama. Sebab, mereka tahu kalau proyek besar dikerjakan sendiri pasti akan keteteran.
Dari segi bisnis, bagaimana Anda memandang prospek industri animasi di Indonesia?
Menurut saya cukup bagus prospeknya. Paling tidak dalam 5 tahun ke depan industri animasi Indonesia bisa lebih baik. Sebab, saya lihat para animator lokal saat ini sudah mulai memetakan jalur mereka.
Secara umum, dalam 3—5 tahun ke depan akan semakin banyak animator yang menggunakan IP. Saat ini banyak juga yang sedang mengembangkan cerita yang bagus. Jadi, jalurnya sudah benar. Mereka sudah punya rencana besar.
Selain itu, industri animasi lokal akan semakin banyak bergerak ke platformmedsos seperti YouTube. Ini sejalan dengan tren di luar negeri. Banyak animator di luar negeri yang mendulang sukses melalui YouTube.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan para animator pemula untuk bisa terus berkembang?
Pertama, berusaha untuk konsisten. Kalau bikin karya jangan hanya sekali bikin lalu selesai. Kalau enggak bisa bikin sebulan sekali, ya hasilkan karya 6 bulan sekali atau setahun sekali. Latih konsistensinya dan pastikan karyanya selalu ada.
Agar karakter yang dihasilkan bisa terstandar dan lebih dikenal orang, gunakanlah IP.
Kedua, jangan khawatir soal distribusi. Saat ini distribusi semakin gampang. Kalau dulu kami harus lewat komunitas, sekarang sudah banyak lomba-lomba. Dari ikut lomba itu, carilah jejaring sebanyak mungkin yang bisa membuat Anda melangkah lebih jauh.