./.
Referensi

Novel Genduk Rekam Keberagamaan Masyarakat Gunung

Azizah Nur Alfi
Kamis, 5 Januari 2017 - 12:20
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Novel Genduk karya Sundari Mardjuki dibedah dalam perhelatan Jagongan Sastra Gunung yang baru pertama kali digelar di Desa Mranggen Kidul, Kecamatan Bansari, Temanggung.

Novel yang masuk dalam lima besar Prosa terbaik dari Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 itu, mengangkat cerita kehidupan masyarakat petani tembakau di Gunung Sindoro.

Menurut Ahmad Syarif Yahya dari Komunitas Rumah Pena Kita, seperti dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, novel Genduk merekam keberagamaan masyarakat gunung.

Ringinsari merupakan desa di lereng Gunung Sindoro yang menjadi latar belakang cerita novel Genduk.

Syarif Yahya menjelaskan melalui Genduk, Sundari mencatatkan bagaimana budaya dan agama tidak dipertentangkan di Ringinsari. Malah justru, unsur-unsur universal dalam budaya itu menjadi sarana terpenting bagi perkembangan agama di sana.

Melalui tokoh Kaji Bawon yang lembut, Sundari mengajarkan bagaimana seharusnya universalitas dan fleksibelitas Islam itu dikomunikasikan ke ruang publik melalui budaya. Melalui sosok lain yakni, mendiang Iskandar sebagai bapak Genduk, Sundari menegaskan bahwa Islam kaku hanya akan dijauhi dan bahkan ditinggalkan.

Melalui budaya, lanjutnya, Kaji Bawon justru lebih diterima masyarakat. Misalnya selametan yang merupakan sistem religi di Ringinsari. Selametan dalam bentuk kenduri, memang tidak ada dalam Islam secara teks. Tetapi substansinya tidaklah bertentangan dengan konsep sedekah, wasilah, dan doa dalam Islam. Dalam sistem bahasa, Kaji Bawon tidak kearab-araban dalam menyampaikan ajaran, tetapi lebih memilih semisal Dhandhangulo.

Dalam kesenian, dapat mengambil contoh jatilannya Darmaji. Jatilan biasanya ditentang kalangan santri, tetapi dengan arif Kaji Bawon menerimanya. Itulah mengapa Kaji Bawon kemudian diminta mendoakan dan membacakan ayat-ayat suci untuk keselamatan Darmaji. Tampak sekali Kaji Bawon memegang prinsip la ikraha fidin (tidak ada paksaan dalam agama).

Sutrisni dan Genduk yang sudah dianggap sebagai keluarga tidak pernah dipaksanya untuk salat dan lain sebagainya. Konsep dakwahnya terukur. Yaitu mengajak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang tepat. Pada akhirnya, Kaji Bawon berhasil mengajak Sutrisni dan Genduk melakukan salat, karena ajakan itu disampaikan pada saat yang benar-benar tepat. Yaitu saat Sutrisni dengan kesadaran penuh, merasa membutuhkan Tuhan. Dalam hal ini, ia diserang teluh.

 

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro