Bisnis.com, JAKARTA - Kelebihan berat badan atau gemuk normalnya dapat diketahui dengan menggunakan sistem BMI atau body mass index.
Namun, berdasarkan studi terbaru yang dipublikasikan dalam Frontiers in Public Health, sistem BMI tersebut dinilai kontroversial sebab sistem tersebut hanya menjumlahkan berat dan tinggi badan.
Dengan kata lain, mengacu pada BMI, seseorang bertubuh pendek dengan massa otot cukup besar diklasifikasikan gemuk. Jika yang diukur adalah lemak tubuh, bukan massa tubuh, 70 persen orang diklasifikasikan gemuk atau kelebihan lemak tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan.
Meski lemak tubuh merupakan hal penting dalam kondisi tubuh normal, namun kelebihan lemak justru menyebabkan berbagai macam penyakit, termasuk dibetes tipe 2, jantung dan beberapa jenis kanker. Dengan kata lain, mengukur lemak tubuh sangat penting, hal tersebut ditujukan untuk memprediksi apakah seseorang berisiko terserang salah satu penyakit di atas atau tidak.
BMI tidak berhasil mengidentifikasi seseorang dengan lemak tubuh berlebih, sehingga membuat sistemnya dipertanyakan. Saat mengukur lemak tubuh, ada beberapa faktor yang harus disertakan, dan ada pula faktor-faktor yang memengaruhi metode yang digunakan. Termasuk akurasi, invasive, biaya, ketersediaan dan mudah tidaknya digunakan.
Alasan mengapa sistem BMI masih digunakan oleh ahli kesehatan adalah murah, tidak invansif, dan mudah untuk dijelaskan pada pasien sekaligus mudah dicerna oleh mereka. Meski ada metode lain yang secara signifikan terbukti lebih akurat dalam mengukur lemak tubuh, namun tidak digunakan dengan alasan tidak praktis dan mahal.
Cara terbaik untuk mengukur lemak tubuh seseorang secara akurat adalah menggunakan teknologi pemindai tubuh, seperti MRI atau CT scan. Namun ada
beberapa teknik yang namanya masih asing, seperti DEXA scan.
DEXA menggunakan X-rays untuk memberikan pengukuran yang akurat mengenai lemak tubuh, jaringan dan mineral tulang. Informasi akurat yang diberikan menjadikan DEXA lebih populer dibanding metode lain untuk mengukur lemak tubuh.
Teknologi lain yang tak kalah modern, bahkan jauh lebih murah dan mudah, namun tidak terlalu akurat adalah BIA atau bioelectrical impedance analysis. Metode BIA menggunakan properti penghantar listrik untuk menunjukkan lemak tubuh. Sayangnya, metode tersebut mudah sekali terkecoh dengan makan, minum atau olahraga. Meski BIA cenderung murah, namun tidak digunakan sebagai pengukur standar karena kurang akurat.
Terlepas dari banyaknya metode canggih, ada sebuah metode sederhana yang sangat mudah dilakukan untuk mengukur lemak tubuh dan sangat bagus untuk memprediksi adanya risiko penyakit kardiovaskular atau tidak pada tubuh seseorang.
Metode ini dilakukan dengan cara mengukur lingkar pinggang dengan meteran dan membandingkannya, baik dengan lingkar pinggul ( rasio pinggang-pinggul) maupun tinggi badan (rasio pinggang-tinggi).
Untuk rasio pinggang-pinggul yang disarankan oleh World Healt Organization (WHO) adalah 0,9 (laki-laki) dan 0,85 (perempuan). Sebagai contoh, seorang perempuan dengan lingkar pinggang 86,4 cm dan lingkar pinggul 101,6 cm seharusnya memiliki rasio pinggang-ke-pinggul 0,85.
Rasio tersebut menunjukkan hasil lebih baik dibanding BMI untuk memprediksikan risiko penyakit kardiovaskular. Metodenya sangat mudah dan murah, selama meteran diletakkan pada posisi yang tepat, data yang dihasilkan cukup akurat.
Mempertimbangkan semua faktor yang dijelaskan di atas, metode terbaik untuk memprediksi (mengukur) lemak tubuh adalah menggunakan rasio pinggang-pinggul. Metode tersebut digunakan dalam studi yang mengungkapkan bahwa 90 persen laki-laki di negara berkembang mengalami kegemukan.
Cara standar untuk mengukur rasio pinggang0pinggul adalah menggunakan tinggi badan untuk menentukan lingkar pinggul. Rasio yang dianggap sehat adalah 0,5, sehingga lingkar pinggang Anda harus setengah dari tinggi badan. Sebagai contoh, seorang laki-laki dengan tinggi 183 sentimeter dan lingkar pinggang 91,5 sentimeter harus memiliki rasio pinggang-ke-pinggul sebesar 0,5.