Travel

Akankah Pantai Kuta Jadi 'Surga tak Dirindukan' Gara-gara Sampah?

Wike Dita Herlinda
Selasa, 9 Januari 2018 - 16:33
Bagikan

Jauh sebelum destinasi pariwisata kreatif baru menjamur di Bali, Pantai Kuta adalah jujugan favorit para wisatawan dari berbagai belahan dunia. Mereka  berburu indahnya pantai bersampul barisan pohon kelapa, sapuan ombak untuk berselancar, dan santainya berjemur di tepi pantai.

 Sayangnya, masa keemasan pantai yang berlokasi di sebelah selatan Kota Denpasar itu semakin memudar. Padahal, pantai itu merupakan salah satu tonggak pioner pengembangan pariwisata berskala internasional di Indonesia.

Pantai yang terkenal sebagai tujuan favorit pelancong asal Australia itu kini semakin kehilangan kecantikannya yang dulu begitu termasyur. Pasir putihnya kini berselimutkan hamparan gunung sampah nonorganik yang tak sedap dipandang.

Sejauh mata memandang, di garis pantai tersebut hanya terlihat tumpukan sampah plastik; mulai dari sedotan, botol, hingga pembungkus makanan. Sampah-sampah menyembul di antara para sunbather dan mengganggu keasyikan para peselancar yang hendak menikmati ombak.

Dari tahun ke tahun, keluhan atas buruknya kebersihan di Pantai Kuta semakin tinggi. Ekspektasi turis yang hendak berpelesir, berenang di laut, atau berselancar terpaksa pupus di tengah jalan akibat gelombang sampah yang terbawa arus dari sungai terus bertambah.

Kondisi Pantai Kuta saat ini merupakan situasi yang memalukan bagi wajah pariwisata Indonesia pada umumnya, dan khususnya Bali. Apalagi, selama ini Indonesia sebagai negara kepulauan dikenal sebagai kontributor sampah laut terbesar kedua setelah China.

Negara ini menyumbang ceceran laut sejumlah rata-rata 1,29 juta ton setiap tahunnya. Di Bali sendiri, sampah plastik yang terbawa arus ke sungai dan samudera telah mengakibatkan masalah penyumbatan saluran air di banyak kota sehingga meningkatkan risiko banjir dan perusakan ekosistem laut.

Sedemikian peliknya masalah penumpukan sampah di Pulau Dewata, pada akhir 2017 Pemerintah Provinsi Bali kembali menyatakan status darurat sampah di garis pantai sepanjang 6 kilometer, termasuk di destinasi-destinasi populer seperti Kuta, Seminyak, sebagian Legian, dan Jimbaran.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Badung mengungkapkan untuk mengatasi kondisi tersebut setidaknya 700 tenaga kebersihan dan 35 truk dikerahkan guna menyingkirkan sekitar 100 ton ceceran sampah nonorganik.

Kepala DLHK Badung Putu Eka Merthawan dalam keterangan resminya mengungkapkan sampah kiriman di wilayah Kuta dan sekitarnya saat ini menembus sekitar 50 ton per hari, dari jumlah semula yang mencapai 5 ton per hari.

Menurutnya, kebanyakan sampah kiriman tersebut berupa plastik, kelapa, dan kayu. “Masalah sampah di Bali mencapai titik terburuk saat musim hujan [monsoon] setiap tahunnya, di mana angin kencang mendorong puing-puing laut dan sampah sungai ke pantai,” jelasnya.

 Dalam waktu dekat, DLKH Badung berencana mengolah 200 ton sampah plastik kiriman di Pantai Kuta, yang masih bisa didaur ulang menjadi barang ekonomis dari total 500 ton sampah yang dikumpulkan dari pantai tersebut. Adapun, sisanya akan dibuang ke TPA Suwung, Denpasar.

TAHUN BARU

Sementara itu, menginjak tahun baru 2018 DLKH Badung mencatat tumpukan sampah dari perayaan pergantian tahun di garis pantai Kuta, Legian, Peti Tenget, dan Seminyak menembus 354 ton.

Menurut Eka, sampah sebanyak itu terdiri atas 250 ton sampah reguler, dan 45 ton sampah perayaan tahun baru dalam semalam. Banyak di antaranya merupakan sisa-sia kembang api. Adapun, sisanya merupakan sampah kiriman laut dari 11 zona.

Lagi-lagi, lanjutnya, tumpukan sampah terbanyak saat tahun baru berkumpul di Pantai Kuta. Untuk itu, pihaknya harus mengerahkan 900 orang tenaga kebersihan, 30 truk sampah, dan dua loader khusus untuk mengenyahkan sampah sisa perayaan tahun baru itu.

Berdasarkan penelitian dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences Universitas Udayana, tumpukan sampah di garis pantai Bali, khususnya yang langsung menghadap Selat Bali, akan mencapai titik terparahnya pada awal 2018.  

Peneliti dari lembaga tersebut, I Gede Hendrawan, memaparkan krisis sampah di Bali sudah mulai menjangkit sejak 2014. Adapun, potensi penyumbang sampah terbesar diperkirakan berasal dari pesisir timur Banyuwangi, Kabupaten Jembrana, dan Tabanan.

Sampah-sampah tersebut akan sampai di Pantai Kuta pada kisaran Desember 2017—Januari 2018 akibat terbawa arus musim hujan pada akhir tahun lalu. Sampah yang tertimbun di Kuta didominasi oleh 75% plastik.

Adapun, sumber sampah-sampah di Pantai Kuta tersebut disebabkan oleh 52% aktivitas di daratan, 14% aktivitas di laut, dan 34% aktivitas lainnya di darat maupun di laut. Sayangnya, hingga saat ini belum ada solusi yang mujarab untuk mengatasi krisis sampah di Bali.

Hal tersebut merupakan sebuah ironi bagi Indonesia, mengingat negara ini turut bergabung dengan 39 negara lain di kampanye Clean Seas (Laut Bersih) yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah sampah plastik yang mencemari samudera.

Kendati pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi sampah laut hingga 70% pada 2025, tetap saja dibutuhkan langkah konkrit dalam jangka pendek untuk mengembalikan pamor Bali sebagai nirwana bumi seperti sedia kala. Jangan sampai Pantai Kuta, khususnya, benar-benar berakhir sebagai ‘surga yang tak dirindukan’.

Editor : Sutarno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro