Pegiat yang tergabung dalam Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual melakukan aksi unjukrasa di bawah jembatan layang, Makassar, Sulawesi Selatan. Aksi itu dipicu kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, siswi SMP berusia 14 tahun di Bengkulu/Antara-Dewi Fajriani
Health

PERLINDUNGAN ANAK: Menutup Celah Kekerasan Seksual

Wike Dita Herlinda
Minggu, 28 Januari 2018 - 20:40
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Problema kekerasan seksual terhadap anak ibarat lingkaran setan di Indonesia. Dari tahun ke tahun, kasus demi kasus terus bermunculan, seolah tidak ada jalan keluar yang mengakhiri lorong gelap tindakan tak beradab tersebut.

Dalam tiga tahun terakhir saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta  tren kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur tidak kunjung menurun. Bisa dibilang, republik ini tengah menghadapi krisis kekerasan terhadap anak.

Berdasarkan data KPAI per September 2017, pada tahun lalu dijumpai 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Angka tersebut tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu; 218 kasus pada 2015 dan 120 kasus pada 2016.

Ironisnya, di balik tragedi-tragedi tersebut ditemukan kenyataan  kebanyakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang-orang terdekat korban. Misalnya saja paman, pengasuh, keluarga dekat, serta ayah tiri atau bahkan kandung.

Hal lain yang lebih miris adalah tidak semua kejadian kekerasan seksual terhadap anak dilaporkan ke pihak berwajib. Sebuah penelitian dari Lentera Sintas Indonesia menyibak fakta  90% kasus tidak dilaporkan, seolah negara hanya tinggal diam menghadapi situasi tersebut.

Pada 2013, dari 25.213 responden yang disurvei, sekitar 6,5% (1,636 responden) mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Namun, 93% dari mereka memilih untuk tidak melaporkan tindak kriminal tersebut. Kebanyakan dengan alasan takut dipersekusi.

Data lain dikutip dari laporan A Familiar Face: Violence in the Lives of Children and Adolescents yang dilansir United Nations Children’s Fund (Unicef) pada akhir 2017 membeberkan  4 dari 10 murid usia 12—17 tahun di Indonesia merasa tidak aman di lingkungan sekolah mereka.

Sebenarnya, pemerintah tidak abai terhadap tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di negeri ini. Apalagi, ada celah semakin meningkatnya tindak kekerasan seksual terhadap anak seiring dengan rencana pemerintah menargetkan kunjungan 20 juta wisatawan pada 2019.

Dikhawatirkan, booming industri pelesir tersebut akan membuka celah bagi maraknya aktivitas eksploitasi seksual anak di bawah umur berkedok pariwisata. Untuk mengantisipasi itu, pemerintah merancang berbagai amunisi kebijakan perlindungan anak.

Misalnya saja melalui UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No.44/2008 tentang Pornografi.

Kemudian ada juga UU No.11/2008 tentang Transaksi Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak, UU No.4/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No.31/2014 revisi dari UU No.6/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No.35/2014 revisi UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Di tingkat daerah pun, berbagai regulasi telah digelontorkan untuk menguatkan sistem perlindungan anak. Misalnya, Perda No.6/204 di Bali dan Perda No.8/2011 di Jakarta. Tak hanya itu, pemerintah juga telah menggulirkan Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak/GNAKSA.

Bagaimanapun, Ahmad Sofian dari End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) berpendapat pemerintah perlu memberlakukan aturan soal sanksi yang lebih berat kepada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.

“Selain itu perlu dilakukan inseminasi tentang hukuman kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dari tingkat akar rumput. Sangat penting untuk melakukan sosialisasi yang menekankan pada konsekuensi hukum dari kejahatan tersebut pada masyarakat. Ini yang masih kurang dilakukan.”

Dia juga menilai pemerintah perlu membangun para penegak hukum yang lebih cekatan dan bereaksi cepat serta efektif dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sebaliknya, anak-anak pun harus dididik untuk memahami hak perlindungan konstitusional mereka.

Di tingkat keluarga, lanjutnya, orang tua juga perlu mengedukasi anak-anak mereka tentang bahaya kekerasan seksual terhadap anak untuk meningkatkan kewaspadaan. Di tempat umum, dia menyarankan dibentuknya ruang-ruang dan fasilitas ramah anak.

PERTOLONGAN PERTAMA

Sementara itu, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI Depok, Anna Surti Ariani, mengatakan agar masyarakat lebih peka terhadap potensi tindak kekerasan seksual terhadap anak dan tidak mempersekusi korban.

“Jadi, orang tua dan sekolah harus peka dan lebih berempati jika terjadi kasus tersebut di lingkungan mereka. Untuk tindakan pertama, orang tua bisa mengajak korban untuk menjalani terapi pascatrauma,” jelasnya.

Psikolog Mira D. Amir dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI) menambahkan hal pertama yang harus dilakukan saat terjadi tindak kekerasan seksual pada anak adalah memprioritaskan keamanan korban.

Pastikan anak dicek secara lengkap kondisi fisik dan psikologisnya. Periksalah seberapa jauh dampak dari kejadian tersebut terhadap korban; apakah ada luka fisik, apakah terjadi shock, apakah dia mengalami persekusi dari lingkungannya, dan sebagainya.

“Bila perlu lakukan visum. Baru setelah itu, lakukan penanganan terhadap korban melalui bantuan psikolog. Satu hal lagi, jangan sembarangan mengumbar cerita, khususnya kepada orang-orang yang tidak berkaitan langsung atau memahami situasinya. Jangan sampai lantas si korban dipandang aneh atau malah di-bully oleh orang yang tidak memiliki empati,” tuturnya.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah jangan memproteksi korban dengan cara menjauhkan dia dari lingkungan sosialnya. Kebanyakan orang tua yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual memilih untuk bersikap terlalu protektif dengan mengurung, memingit, atau membatasi anak dari kebutuhan bersosialisasi.

“Itu akan merugikan anak. Untuk kasus seperti itu, tidak perlu semua orang harus tahu. Lebih baik mencari bantuan ke profesional. Keluarga harus benar-benar menjaga anak dengan tetap memperhatikan kebutuhan sosialnya.”

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro