Ilustrasi bahasa daerah/Antara
Fashion

Jangan Latah dalam Berbahasa

Ilman A. Sudarwan
Sabtu, 17 Februari 2018 - 10:33
Bagikan

Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Yusi Avianto Pareanom menyatakan bahwa gejala bahasa baru merupakan tren sesaat yang akan segera berganti dengan bahasa yang baru. Menurutnya, masyarakat hanya menggunakan frasa tersebut dalam percakapan dan tidak digunakan pada saat-saat resmi.

“Tidak ada dampak yang berarti. Penggunanya juga akan meninggalkan. Masyarakat Indonesia saat ini sudah terbiasa berekspresi dengan [mencampurkan] beberapa bahasa sekaligus. Lagi pula, untuk konteks tersebut [frasa kids zaman now] semangatnya adalah main-main saja, ada latah di situ,” jelasnya.

Justito mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kondisi bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia berada dalam posisi sulit karena sebagian besar masyarakat masih belum menggunakan dengan baik.

Linier dengan hal itu, masyarakat juga dituntut untuk menguasai bahasa Inggris agar tidak tersisih di era globalisasi. “Kita berada di persimpangan itu. Di satu sisi menggunakan bahasa Indonesia belum becus, apalagi berbahasa Inggris. Jadinya muncul frasa campur aduk yang terdengar menggelikan seperti kids zaman now itu,” katanya.

Meskipun demikian, Yusi mengatakan bahwa fenomena ini juga dapat dilihat sebagai hal yang positif. Munculnya frasa ini membuktikan bahwa generasi muda lebih terbuka terhadap penggunaan bahasa asing.

Hal yang paling penting dari fenomena itu adalah bagaimana memunculkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Menurutnya, seharusnya masyarakat Indonesia dapat meniru yang dilakukan oleh negara lain dalam menjaga bahasa mereka.

Dia mencontohkan, pemerintah Inggris selalu berupaya mengenalkan beragam kesusastraan klasik karya dari penyair kenamaan kepada generasi muda.
“Misalnnya, Hamlet karya sastrawan William Shakespeare yang rumit diubah ke dalam versi bahasa Inggris yang lebih sederhana sehingga mudah dimengerti oleh anak muda.

Jadi mereka mengenali sejarah karya sastra mereka, memahami bahasa mereka dengan lebih baik. Seharusnya Indonesia dapat meniru seperti itu,” ujarnya.
Menurutnya, di Indonesia belum dibudayakan membaca karya sastra klasik. “Coba kapan terakhir membaca sastra-sastra klasik?,” tanyanya.

Editor : Diena Lestari
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro