Bisnis.com, JAKARTA - Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350—1389), terpatri sebuah prasasti yang berisikan titah raja kepada keluarganya yang memerintah di Biluluk dan Tenggulunan. Lempengan tembaga yang kini dikenal sebagai Prasasti Biluluk itu dikeluarkan pada 1288—1317 tahun Saka (1366—1397 Masehi).
Prasasti yang dipahat abad XIV itu menceritakan tentang bagaimana warga Biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam saat ritual pemujaan sekali setahun. Garam hasil penimbaan tersebut tidak boleh diperdagangkan, kecuali jika dikenakan cukai.
Di dalam prasasti tersebut juga digambarkan dengan terperinci bagaimana masyarakat pesisir utara Jawa mengolah air laut menjadi garam, dan menggantungkan kehidupan mereka dari komoditas tersebut. Apalagi, Tenggulunan dulunya adalah salah satu jalur perdagangan penting di era Kerajaan Majapahit.
Judul : Hikayat Si Induk Bumbu: Jalan Panjang Swasembada Garam Penulis : Misri Gozan, Yety Ningsih, Makhfud Efendy, Faisal Basri Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 162 halaman Cetakan : Pertama, Februari 2018 ISBN-13 : 978-602-424-792-8 |
Saat ini, wilayah Biluluk dikenal sebagai salah satu kawasan di Lamongan, Jawa Timur. Sementara itu, Tenggulunan diprediksi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Solokuro. Ada juga yang memperkirakan Tenggulunan tercakup di muara Sungai Lamong, Gresik.
Prasasti tersebut membuktikan bahwa selama berabad-abad, sepanjang pesisir utara Pulau Jawa—dimulai dari Gresik—menjadi tulang punggung produksi garam di Indonesia. Cara pembuatan garam di Pantura pun nyaris tidak mengalami perubahan sejak Prasasti Biluluk dipahat.
Petani garam di Pantura masih saja mengandalkan panas matahari untuk menguapkan air laut guna menuai kristal garam. Hingga saat ini, proses pembuatan garam petani Pantura nyaris tak tersentuh teknologi modern.
Lantas, timbullah pertanyaan, jika pola produksi garam di Tanah Air tidak berubah sejak abad XIV, mungkinkah negara ini mampu melakukan swasembada garam untuk mencukupi kebutuhan konsumen dan industri di dalam negeri?
Pertanyaan menggelitik itu diulas dalam buku bertajuk Hikayat Si Induk Bumbu. Hasil kolaborasi Misri Gozan, Yety Ningsih, Makhfud Efendy, Faisal Basri ini mengupas segala tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mewujudkan mimpi swasembada garam.
Apalagi, akhir-akhir ini pembicaraan impor garam menjadi buah bibir di banyak kalangan. Sebagian kalangan mengkritisi keputusan untuk mengimpor garam hingga dua kali hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir.
Namun, ada juga kalangan yang berpandangan impor garam tidak terhindarkan mengingat kebutuhan industri yang makin tinggi berbanding terbalik dengan ketersediaan garam di dalam negeri.
Di dalam buku ini, Misri Gozan dan kawan-kawannya membahas ‘apa yang salah’ dalam industri garam Indonesia. Mereka menelusuri sejarah industri garam sejak era Majapahit, hingga ketidakpastian volume produksi garam lokal yang membuat petani dan pelaku industri resah.
Beberapa solusi untuk mengatasi masalah produksi garam ditawarkan di dalam buku setebal 162 halaman ini. Mulai dari bagaimana mengembangkan industri garam nasional, memberlakukan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), hingga saran kebijakan dan regulasi yang menopang industri garam.
Buku ini juga menyarankan perhatian semua kalangan terhadap permasalahan garam secara holistik. Diperlukan pusat data garam yang kuat untuk memantau produksi dan kualitas garam lokal, serta dimana dan oleh siapa cadangan garam disimpan.
Tidak hanya itu, dibutuhkan penataan pola hubungan produksi dan kelembagaan pasar garam, reformasi tata niaga garam, penerapan prinsip persaingan sehat pada kebijakan pengendalian impor garam, serta peningkatan dan verifikasi mutu garam rakyat.
Secara keseluruhan, mimpi untuk swasembada garam hanya bisa diwujudkan jika industri garam lokal sudah mampu memproduksi secara massal. Permasalahannya, harus ada industrialisasi, revitalisasi, serta perubahan pola produksi ala Prasasti Biluluk menjadi lebih modern.