Bisnis.com, JAKARTA - Agus Yusuf tak beranjak saat melihat satu lukisannya malam itu. Sesekali melihat ke arah karya, beberapa kali pula dia harus membelakanginya.
Dibantu kursi roda, pria itu berulang kali mengikuti ajakan foto dari pengunjung. Lukisan itu merupakan hasil sapuan kuasnya sendiri. Karyanya itu menceritakan tentang tentang panorama alam di dekat kampungnya.
“Inspirasi saya dari pemandangan di daerah Gunung Lawu,”katanya kepada Bisnis.
Lukisan bertema alam memang sudah dilakoni pria asal Madiun, Jawa Tengah ini. sejak dua dekade lalu, karyanya identik dengan keindahan alam. Paling sederhana selain pemandangan, Agus memainkan kuas di atas kanvas untuk melukis bunga.
Kerap kali saat menempuh perjalanan ke Solo untuk membeli kebutuhan lukis, kamera foto tak lupa di bawa. Sambil jepret, Agus merekam dalam ingatan keindangan yang dilihatnya. Setiba di rumah, hasil imajinasi ditambah panorama yang dilihat, disampaikan melalui kanvas.
Alam memang dekat dengan Agus. Tidak bisa dielak alam menyumbang ketenangan mata dan batin bagi yang melihatnya. Bagi Agus, sebagai sumber oksigen untuk manusia, panorama alam bisa memberikan dampak rileksasi. Itu pula yang ingin dicapai oleh pria kelahiran 1963 itu.
Agus bukan pelukis alam biasanya. Tidak seperti pelukis kebanyakan, Agus punya kelebihan istimewa. Dia memainkan kuas menggunakan mulut dan kaki kirinya. Lahir dengan kondisi kurang sempurna tetap membuatnya optimis menjadi seorang pelukis. Kaki dan mulutnya malah menjadi berkah untuk menghidupi keluarga.
Hanya beberapa difabel fisik yang menempuh jalan sebagai seorang seniman. Agus hanya salah satu dari beberapa pelukis difabel lain. Kondisi fisiknya memang tidak sempurnya, namun kreatifitas dalam memainkan guratan cat tidak perlu dipertanyakan.
Bakat melukis sudah dirasakannya sejak kelas tiga di bangku sekolah dasar. Dimulai dari menggambar hal kecil saat sekolah. Mula-mula dia menggambar dengan kaki, kemudian diikuti mulutnya.
Menginjak kelas lima sekolah dasar, bakatnya makin tajam dalam melukis. “Saya mulai ikut lomba lukis di kelas lima dari antardesa, kecamatan sampai kabupaten, saya juara satu terus,” katanya.
Sejak saat itu, warga mulai mengakui bakatnya. Di usia muda pula Agus mulai menjual karya lukisnya. Dia menangkap objek sederhana, seperti bunga, buah-buahan sampai pemandangan laut dan bahkan air terjun.
Agus tidak menceritakan makna berseni secara luas kepada Bisnis. Namun, seni lukis dengan Agus telah melekat lama. Baginya melukis sama dengan bentuk penyegaran di dirinya. Belum lagi dengan kondisi fisik tidak mendukungnya bekerja seperti manusia normal, jalan berseni menjadi pilihan untuk menyambung hidup dan keluarga.
“Selain perjalanan hidup yang panjang dengan lukisan, karya lukis bisa menambah penyegaran kita. Saya cenderung di dunia lukis. Saya Alhamdulillah kerjanya santai dan sudah ada wadahnya,” ujarnya.
Saat menggambar alam, Agus suka dengan panorama saat sore atau siang. Efek bayangan matahari cukup digemarinya. Misalnya menggambar batang-batang pohon, bayangan cahaya tidak lupa di mainkannya. Hal ini membuat karyanya lebih hidup. Atau saat melukis air terjun, gambar dua dimensi dibuatnya semaksimal mungkin.
Mulut dan kakinya memang sudah dilatih sejak belia. kedua bagian tubuhnya cekatan saat menyentuh cat di atas palet. Setelah memberikan sketsa di kanvas, satu per satu warna dimainkan. Kerap kali untuk memberikan gambarasan dasar dilukis dengan kakinya.
Seperti biasa cat minyak yang digunakan harus dilapis hingga empat kali. Mendekati finishing, giliran mulut yang kian intensif menyentuh medium lukis. Namun pada dasarnya baik kaki maupun mulut secara bergantian memegang kuas. Jika kaki mulai pegal, giliran mulut yang mengatur, begitupun sebaliknya.
Keahlian lukis diakui semakin tajam sejak mendaftar sebagai anggota di Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) pada 1989. Asosiasi nirlaba itu menjadi salah satu wadah menampung seluruh karya seni pelukis khusus yang menggunakan mulut dan kaki. Agus masuk kualifikasi itu. Di Indonesia, setidaknya 9 pelukis termasuk Agus terdaftar sebagai bagian dari asosiasi itu.
Setiap satu tahun sekali di Januari, Agus dan rekan-rekannya harus mengirim 12 karya lukis ke asosiasi untuk dijual ke berbagai negara termasuk Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Austria dan belahan negara lain. Sebagai gantinya, Agus mendapat intensif bulanan untuk kebutuhan sehar-hari. Sayang, dia enggan mempublikasi nilai yang diterima. Namun bisa dipastikan jumlahnya lebih dari cukup. “Nilainya cukup untuk kebutuhan saya dan keluarga,” katanya.
Hingga kini dia berlum berfikir untuk pensiun dari dunia seni lukis. Lukisan tetah membawanya hingga ke tinggat saat ini. Meninggalkan seni lukis sama dengan mengubur hobi sekaligus pekerjaan yang membesarkan namanya. “Saya akan menjadi pelukis sampai akhir hayat saya,” katanya.