Pameran Jeihan: Hari-hari di Cicadas berlangsung pada 26 Maret-26 Mei 2019 di Museum MACAN di Jakarta/Bisnis-Tika Anggreni
Entertainment

Menyaksikan Pameran Lukisan Jeihan : Hari-Hari di Cicadas

Tika Anggreni Purba
Selasa, 9 April 2019 - 14:41
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA— Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau Museum MACAN Jakarta  menggelar pameran Jeihan: Hari-hari di Cicadas pada 26 Maret-26 Mei 2019.

Pameran ini menampilkan 30 lukisan lama karya pelukis legendaris Indonesia Jeihan Sukmantoro. Sebagian besar lukisan-lukisan itu belum pernah dipamerkan.

Selama tinggal di Cicadas dari 1965 sampai dengan 1981, Jeihan banyak melukis orang-orang di sekitar rumahnya. Karya-karya tersebut menggambarkan dia sendiri sang perupa, anggota keluarga, dan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya.

Cicadas adalah sebuah kawasan di Bandung Timur yang dikenal sebagai wilayah padat penduduk.

 “Mereka datang ke rumah saya karena keluarga kami memiliki televisi pada saat itu,” kata Jeihan.

Perupa yang kini berusia 81 tahun ini dikenal dengan lukisan-lukisan manusia, yang menampilkan “mata yang dihitamkan.” Potret ini dibuat sebagai respons pribadi terhadap pergolakan sosial dan politik di Indonesia pada awal 1960-an.

Sapuan warna hitam yang menutupi mata menggambarkan keprihatinannya terhadap masa depan bangsa yang tak menentu. Hal ini juga berkaitan dengan gagasan Jeihan tentang kepercayaan mistis masyarakat Jawa mengenai ketidakmampuan manusia biasa dalam meramalkan masa depan.

Selain berfungsi sebagai observasi yang intim terhadap komunitas di sekitar Jeihan, lukisan-lukisan ini juga merefleksikan spiritualitas diri, serta kondisi sebuah masyarakat yang sedang melalui perubahan besar.

Pemaknaan pada karya ini juga cukup sederhana, yakni menghadirkan suasana Cicadas dalam memori Jeihan di masa kini.

Bersamaan dengan praktik berkeseniannya, Jeihan juga merupakan bagian dari lingkaran pujangga di Cicadas yang bereksperimen dengan puisi konkret. Puisi yang tidak terpaku pada aturan tata bahasa karena lebih mementingkan tipografi dan komposisi visual dibandingkan bahasa metafor. 

Pada 1971, Jeihan bersama rekan pujangganya mencetuskan istilah puisi mbeling (puisi nakal), untuk mendefinisikan gerakan sastra mereka. Beberapa puisinya ditampilkan juga dalam pameran ini.

Editor : Saeno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro