Bisnis.com, JAKARTA – Suatu kali dalam acara Playfest 2019 yang digelar pada Minggu (25/8/2019), Tompi, penyanyi yang juga notabenenya adalah seorang dokter memberi pertanyaan menarik pada sesi talkshow bersama Gibran Rakabuming Raka.
Situasinya, putra sulung Presiden RI tersebut baru saja mendapatkan suntikan dana Rp71 miliar untuk start-up minuman kekiniannya, Goola.
“Dari namanya saja sudah Goola, berarti mengandung gula. Berarti tidak baik dong untuk kesehatan?” tanya Tompi di sela-sela acara.
“Iya, tapi dana sebesar itu tidak masuk ke kantong saya. Uangnya akan kita bikin supaya kita bisa meracik gula yang lebih aman untuk dikonsumsi,” jawab Gibran ringkas.
Apa memang benar ada jenis gula dalam sajian minuman kekinian yang aman dikonsumsi?
Minuman Kekinian
Sebagai salah satu pelopor minuman kekinian, bubble tea atau yang akrab di telinga kita dengan nama boba sebenarnya memiliki kandungan yang tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan, sampai minuman ini ditambahkan gula cair dan butiran tepung tapioka.
Dikutip dari The Healthy.com, bubble tea yang terbuat dari tepung tapioka umumnya direbus dalam kurun waktu 3 jam dan ditambahkan gula ke dalamnya. Hanya dari ¼ gelas berisi butiran tepung tapioka ini saja mengandung 160 kalori.
Belum lagi jika bubble tea ditambahkan gula cair tambahan, maka satu gelas bubble tea dapat menyumbang kalori sebesar 400 kalori atau sama dengan satu piring nasi goreng ayam.
Data yang dihimpun oleh Mount Alvernia Hospital juga menerangkan, setiap 500 ml bubble tea milk tea, mengandung 8 sendok teh gula, sama seperti varian minuman kekinian mango green tea. Minuman yang sedang tren saat ini yakni brown sugar milk tea with pearl bahkan menyumbang 18,5 sendok teh gula, kadar gula yang jauh lebih tinggi dari minuman bersoda yang dalam satu kalengnya hanya menyumbang 7 sendok teh gula.
Jus Buah
Berbicara kepada Bisnis.com, ahli nutrisi DR. Tan Shot Yen, menyebut bahkan jus buah dan sayuran yang digaung-gaungkan adalah minuman sehat dan dijual di berbagai pusat perbelanjaan juga tidak sehat.
Menurutnya, kecepatan serap fruktosa meningkat sebagai akibat pemecahan sayur dan buah menjadi glukosa, sehingga pada akhirnya, orang yang mengonsumsi jus yang terbuat dari buah dan sayur akan cepat merasa lapar.
“Berkacalah dari negara-negara maju yang sudah jatuh bangun dengan berbagai pola kelakuan orang makan. Penelitian menunjukkan bahwa org-orang yang ‘ngejus’ akan cepat lapar bahkan kadar gulanya naik,” katanya.
“Prinsipnya sederhana, Tuhan memberi buah, gigi dan pencernaan selama tiga jam. Jika kita tidak paham tujuan makan sayur dan buah sesungguhnya, jebakan kepraktisan hidup akan mengerikan,” tegasnya.
Gerakan Masyaraat Sehat
Hasil riset kesehatan dasar (Riskedas) dari Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi penyakit diabetes atau penyakit yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi atau di atas nilai normal meningkat dari tahun 2013 yang hanya 6,9 persen menjadi 8,5 persen di tahun 2018.
Faktor kenaikan prevalensi penyakit ini paling banyak disumbang oleh kebiasaan masyarakat yang kurang mengonsumsi buah dan sayur yang mencapai 95,9 persen pada tahun 2018.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2017 sebenarnya sudah mewanti-wanti masyarakat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang salah satunya menyarankan masyarakat untuk memperbanyak makan sayur dan buah.
Namun dengan tingginya antusiasme masyarakat terhadap minuman kekinian mulai dari bubble tea hingga jus kekinian, menyiratkan gerakan tersebut hanya menyentuh sebagian kecil dari masyarakat.
“Tidak ada satu orang pun yang tidak mau hidupnya lebih baik. Jika informasi kesehatan yang bertujuan baik itu tidak dijalankan, artinya ada yang salah dengan cara penyampaiannya atau isinya tidak penting. Orang hanya menjalankan apa yang penting dalam hidupnya, bukan apa yang harus,” jelas DR. Tan Shot Yet.
Preferensi Individu
Dikutip dari Health Line, sebuah studi menyebutkan gula bisa lebih candu dibandingkan obat terlarang seperti kokain. Sebuah studi yang dilakukan kepada mencit di Connecticut College menyebutkan kudapan seperti Oreo mengaktifasi neuron pada sel otak yang bertujuan meningkatkan perasaan nikmat.
“Cerita tentang Oreo bisa lebih candu daripada kokain mungkin terlihat berlebihan. Namun kita tidak bisa menyepelekan kekuatan gula yang memikat kita lagi dan lagi, dan merampok kesehatan kita,” ungkap Alan Greene, ahli kesehatan dan kebugaran anak dan penulis buku Raising Baby Green.
Karena itu memilih untuk hidup sehat sebenarnya adalah pilihan, yang harus konsisten dijalankan individu. Berbagai upaya sudah dijalankan pemerintah, dan berbagai penelitian sudah dilakukan demi membuka wawasan masyarakat kalau tidak ada ‘minuman yang diproses’ baik untuk kesehatan.
Ironinya, antrean panjang masih tetap saja kita lihat di berbagai outlet minuman kekinian, yang pada akhirnya bisa membunuh kita perlahan-perlahan.
“Gula itu kebutuhan atau kecanduan? Semua karbo yang kita makan ujung-ujungnya jadi gula. Masih kurang? Tubuh manusia itu Gusti Allah yang bikin, jadi kebutuhannya sudah dicukupkan oleh-Nya,” tutup Tan Shot Yen.