Bisnis.com, JAKARTA - Pernikahan kaum milenial saat ini terbilang mahal. Gengsi yang tinggi dan perkembangan media sosial dianggap menjadi pemicunya.
Senior Manager Business Development PT Asuransi Jiwa Sequis Life, Yan Ardhianto Handoyo mengatakan menikah itu pada dasarnya murah, tetapi bisa menjadi mahal karena milenial lebih memperhatikan pencitraan dan penampilan.
Milenial, biasanya mendambakan pernikahan yang modern dan visual. Belakangan photobooth dan layar LCD untuk penayangan live pesta pernikahan menjadi tren dan menambah pengeluaran di luar biaya pelaminan dan prasmanan.
Selain itu, estimasi biaya untuk resepsi pernikahan pun terus meningkat, sebagai contoh resepsi pernikahan di hotel bintang lima di kawasan Jakarta pada 2020, bisa mencapai lebih dari Rp500 juta. "Ini belum termasuk jasa fotografer, photobooth, undangan, souvenir, hantaran, dan lainnya," kata Yan dalam keterangan resmi, Kamis (13/2/2020).
Hal lainnya adalah soal media sosial yang juga sangat lekat dengan kehidupan milenial. Banyaknya postingan pernikahan yang mewah atau unik, membuat para milenial tidak mau menikah sekadarnya dan dengan cara konservatif.
Bahkan dalam Wedding Report 2019 yang dikeluarkan The Lyst, mengatakan bahwa media sosial memiliki dampak yang semakin penting terhadap tren pernikahan di seluruh dunia, sehingga demi postingan media sosial yang menarik maka vendor media sosial dimasukan juga dalam bujet pernikahan.
Baca Juga Keuntungan Menikahi Sahabat |
---|
Tentu kata Yan, fenomena ini menimbulkan polemik bagi mereka yang belum siap secara finansial, beberapa diantaranya menunda pernikahan. Ada juga yang memilih tetap melangsungkan pernikahan dengan berutang.
Padahal, menurut Yang jika mau menyesuaikan kemampuan keuangan dan mengerti akan tujuan pernikahan, tidak perlu menunda hanya karena gengsi, pernikahan tetap dapat dilangsungkan dengan cara sederhana.
Namun, jika pilihan jatuh pada opsi kedua, maka milenial dapat memanfaatkan fasilitas pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga yang sangat rendah. "Hal ini mengingat rasio total utang konsumtif adalah maksimal 15% dari penghasilan tetap,"sebut Yan.
Kendati demikian, Yan tetap menyarankan agar pernikahan dibiayai dengan anggaran yang dipersiapkan sebelumnya. Sebelum masuk pada tahap pernikahan, penting untuk memahami tujuan pernikahan itu sendiri.
"Menikah adalah awal membangun rumah tangga, kehidupan pernikahan justru dimulai setelah pesta. Oleh sebab itu, biaya pernikahan sebaiknya tidak dibiayai dari utang, masih banyak tahapan kehidupan yang membutuhkan biaya," tukasnya.