Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat dikabarkan banyak membeli dan menyetok obat malaria Chloroquine phosphate di tengah wabah virus corona Covid-19.
Menanggapinya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam memperingatkan kepada masyarakat jangan sembarangan menggunakan obat.
Ari menerangkan, obat malaria merupakan obat keras, tidak seperti paracetamol dan obat yang dijual di warung.
“Itu kan masih dalam pengujian (pengobatan pasien Covid-19), obat itu harus dengan resep dokter,” ujar dia saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (20/3/2020).
Chloroqine phosphate merupakan obat malaria dan salah satu yang obat eksperimental yang digunakan dan diteliti oleh para ahli di beberapa negara untuk mengobati pasien virus corona jenis baru yang saat ini mewabah di dunia.
Selain itu ada juga calon obat ebola, obatirheumatoid arthritis, flu, dan HIV.
Obat-obat ini dianggap potensial mengerem penularan virus yang sudah menyebar ke berbagai negara di dunia.
Per Jumat sore, 20 Maret 2020, berdasarkan peta sebaran yang dibuat Johns Hopkins University sudah dikonfirmasi 245.484 kasus infeksi dan 10.031 orang meninggal.
Ari yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam itu mengatakan bahwa obat tersebut merupakan obat keras.
“Itu obat bukan sembarangan, jika salah menyimpannya bisa menjadi racun, dan jika penggunaannya salah bisa merusak ginjal dan liver,” kata Ari.
Dia juga meminta agar apotek-apotek untuk tidak sembarangan memberikan obat kepada masyarakat.
“Jika ada apotek yang memberikannya sembarangan, maka itu urusannya harus dengan kepolisian, karena itu obat keras,” kata Ari menegaskan.
Dia meminta masyarakat tidak panik dengan melakukan hal-hal yang menjadi tugas dokter.
"Kami di rumah sakit-rumah sakit melakukan pengobatan yang sesuai dengan kasusnya,” tutur Ari.
Dan menambahkan, “intinya (jika ingin terhindar dari virus) daya tahan tubuh harus bagus.”