Bisnis.com, JAKARTA – Intermittent Fasting alias diet puasa pola makan pada waktu tertantu saja memang makin populer dalam beberapa tahun terakhit karena menjanjikan manfaat kesehatan.
Meski demikian di tengah pandemi Covid-19, dikutip dari Insider.com, Kamis (26/3/2020), masyarakat mengisolasi diri dalam rumah, melakukan stok makanan maka ini bukanlah waktu yang tepat melakukan diet.
Menurut Alissa Rumsey, MS, RD, pemiliki Alissa Rumsey Nutrition and Wellness, jika itu tetap dilakukan malah berpotensi melemahkan sistem imun dan membuat kondisi psikis Anda semakin buruk.
Hal ini diperkuat dari opini para praktisi diet, Dr. Peter Attia yang melawan pola makan diet puasa di tengah kondisi saat ini seperti halnya opini Alissa. Oleh sebab itu, jika akan melakukan puasa, Anda harus menjaga rutinitas selama puasa misalnya makan dalam kurun waktu 10 jam.
Selama berpuasa, tubuh Anda berpeluang besar mengalami stres, terutama jika Anda melakukan puasa satu hari penuh. Oleh sebab itu, jika Anda memakan snacks dan cemilan, Anda melawan rutinitas Anda, hal ini akan menaikkan kadar kortisol, menurut Alissa Rumsey.
Kortisol sendiri adalah hormone yang sering diasosiasikan dengan stress, tetapi juga berkorelasi dengan metabolisme, kadar gula dalam dearth, inflamasi, dan daya ingat. Jika terlalu banyak hormone ini, akan membuat anda kegemukan dan penurunan kinerja otot.
“Dalam kondisi saat ini, kita sudah stress, maka hal itu nanti bisa menambah stress dalam tubuh kita,” ujar Alissa Rumsey.
Langkah yang akan meningkatkan hormone antara lain, pola tidur yang tidak sehat, dan penurunan tingkat kesadaran mental, seiring dengan kadar gula dalam darah yang tidak stabil.
Sementara itu, Peter Attia menyatakan puasa yang bertahan lebih dari dua hari, akan mendorong kenaikan kadar hormone kartisiol dan berpotensi menurunkan sistem imun.
Puasa akan sangat berpengaruh pula ada kesehatan mental, terutama pada manusia yang punya pola makan tak teratur. Puasa juga dapat mengganggu kesehatan mental, terutama pada saat kecemasan sudah meningkat. Ini menyebabkan orang terpaku pada makanan, menguras sumber daya untuk tugas kognitif atau emosional lainnya seperti bekerja atau mengelola stres dengan cara lain.
Ini sangat berisiko bagi orang-orang dengan riwayat makan yang tidak teratur, karena jadwal makanan yang ketat mungkin memicu keinginan untuk membatasi makanan atau kecemasan tentang makan.
"Ini bisa mengarah pada obsesi yang tidak sehat terhadap makanan karena yang dapat kamu pikirkan hanyalah kapan makan berikutnya,” tuturnya.
Dia menambahkan, tidak ada penelitian yang menunjukkan puasa dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam jangka pendek. Sebaliknya, bukti yang sudah ada adalah manfaat jangka panjang dari puasa, seperti mencegah gejala penuaan dan mungkin mencegah penyakit kronis seperti diabetes dan kanker.
Oleh sebab itu, Attia mencatat bahwa tidak ada kepastian bahwa diet dan puasa dapat membantu Anda melawan infeksi COVID-19.
Beberapa pendukung puasa mengklaim bahwa protokol mereka dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh atau mencegah penyakit. Seorang chiropractor, misalnya, menyatakan bahwa puasa dapat membersihkan mikroba, bakteri, virus, parasit dari tubuh, tetapi tidak ada bukti puasa dapat menyembuhkan atau mencegah virus corona.
"Sayangnya, kami melihat banyak orang bermain dengan rasa takut ini dengan menggembar-gemborkan puasa dan protokol diet lainnya sebagai cara untuk meningkatkan kekebalan, padahal pada kenyataannya ini bukan sesuatu yang memiliki banyak kendali," kata Alissa Rumsey.
Namun, ada tindakan bermanfaat yang dapat dilakukan orang untuk melindungi diri dan komunitas selain melalui puasa dan diet. Para ahli sepakat bahwa jarak sosial dan mencuci tangan adalah cara paling penting untuk menghentikan penyebaran virus.
"Hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk kekebalan kita adalah mendapatkan tidur yang cukup dan menumbuhkan beberapa keterampilan mengatasi untuk mengatasi stres," tutup Alissa Rumsey.