Bisnis.com, JAKARTA - Pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Begitu pula dengan pacaran.
Dikutip dari Nu.or.id, pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan.
Demikaian surat al-Isra’ ayat 32 menerangkan "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” Hal ini sangat singkron dengan hadits Rasulullah saw yang seolah menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam perzinahan.
Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya” (muttafaq alaihi) Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang.
Pelarangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi berduaan. Demikianlah dasar hukum dilarangnya pacaran, jika yang dimaksud dengan pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka, sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Purwodarminto.
Akan tetapi berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah upaya saling mengenal menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar. Karena sesungguhnya hal itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah saw terhadap generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari perzinahan.
Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih).
Begitu juga sebaliknya, Rasulullah saw dengan gamblang mengancam siapapun yang tidak mengikuti sunnahnya (termasuk di dalamnya menikah) sebagai keluar dari golongannya. Demikian ketegasan Rasulullah saw tercermin dalam haditsnya:
Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata "tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku” Kedua hadits ini menjelaskan posisi pentingnya sebuah pernikahan bagi seorang.
Sehingga Rasulullah sendiri membuat anjuran sekligus ancaman. Oleh karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam upaya mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam Islam dibolehkan.
Karena kesempatan seorang muslim memandang muka dan telapak tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen khitbah, tidak pada saat yang lain. Demikian keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib.
Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita) melihat untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak tangannya.
Demikian Rasulullah saw juga mengajarkan perlunya perkenalan dan menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana pengalaman Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, maka Rasulullah berkomentar kepadanya "Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas (dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua. Oleh karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah yang membolehkan seorang lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan perempuan, tidak lebih.
Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak tangan, tidak melebihi saat khitbah, dan juga tidak melebihi dari memandang itu sendiri.