Bisnis.com, JAKARTA - Film menjadi salah satu sektor seni yang paling terpukul akibat pandemi virus corona. Proses produksi film harus dihentikan, sedangkan penayangan film pun mandek karena bioskop ditutup untuk sementara.
Padahal, kata Peneliti Kebijakan Seni Budaya Koalisi Seni, Eduard Lazarus industri perfilman tengah berada di fase nyaris lepas landas dan mulai memperoleh banyak investasi dalam jumlah besar.
Oleh karena itu dia menyarankan ada upaya memastikan kesejahteraan pekerja industri film dibarengi bantuan skala besar lainnya. "Pada sisi produksi film, insentif yang dibutuhkan adalah sebisa mungkin menekan ongkos pengerjaan film sebelum rilis kembali," ujarnya dalam siaran pers, Rabu (6/5/2020).
Menurutnya pemerintah Indonesia bisa mencontoh langkah pemerintah China untuk mensubsidi industri perfilmannya setelah pandemi di negara tersebut reda. Provinsi Zhejiang, misalnya, memberi insentif sebesar 10 juta Yuan atau sekitar Rp23 miliar untuk sewa tempat, alat, serta akomodasi pekerja film.
Sedangkan Kota Xiangshan memotong ongkos sewa gedung, studio dan akomodasi hingga 50 persen, serta memberi diskon 10 hingga 20 persen untuk sewa alat, properti, kostum dan kendaraan.
Di sisi lain, lancarnya produksi menurutnya perlu diimbangi dengan upaya memastikan ketahanan bioskop sebagai kanal penayangan utama film. Pemerintah pusat dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memberi keringanan retribusi untuk Pajak Bumi dan Bangunan bagi gedung bioskop, maupun kelonggaran sewa bangunan yang beroperasi dalam pusat perbelanjaan.
"Pemerintah juga dapat membantu memangkas pengeluaran utilitas bioskop, seperti biaya tagihan listrik," tambahnya.
Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang mendata pekerja seni dan ekonomi kreatif yang terdampak pandemi.
Namun kendala kedua inisiatif ini adalah ketiadaan data terpadu mengenai jumlah pekerja seni, termasuk perfilman, yang membutuhkan skema pelindungan sosial.
Untuk mengatasi kebutuhan data ini, Eduard menilai pemerintah dapat bekerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang merupakan perwujudan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.