Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi virus corona (Covid-19) berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Membaca fenomena sosial dewasa ini menjadi menarik lantaran masyarakat ke depan harus beraktivitas kembali dengan cara ‘berdamai’ dengan virus corona untuk menciptakan kenormalan baru dalam kehidupan.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu mengalami gagap tradisi dengan adanya pembatasan kegiatan berkumpul dan berinteraksi, bahkan membentuk tatanan baru kehidupan. Ada aspek positIf dan negatif dari situasi menantang ini yang turut membentuk dinamika masyarakat agar bisa segera bangkit dari keterpurukan.
Pandemi Covid-19 telah membuat kepanikan berlebihan di sebagian masyarakat sampai terjadi penolakan terhadap jenazah korban corona, hingga pengusiran perawat dan pemudik. Selain itu, tak sedikit juga masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi baik pekerja dirumahkan atau usaha kecil yang kehilangan sumber pendapatan.
Di lain pihak, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa masyarakat lebih banyak tinggal di rumah sehingga lebih akrab membangun kedekatan di keluarga. Dalam situasi sulit ini, lahir pula berbagai gerakan sosial yang kreatif untuk mengurangi beban masyarakat dari tekanan ekonomi yang berat. Semua itu merupakan fenomena sosial yang akan berdampak terhadap kehidupan kemasyarakatan ke depan.
Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo mengatakan, pandemi Covid-19 yang membatasi berbagai aktivitas manusia di luar rumah merupakan momentum untuk mendekatkan diri dengan keluarga. Terlebih bagi keluarga yang tinggal di perkotaan dengan segala kesibukannya mulai dari pagi hingga malam hari.
“Positifnya, karena pandemi ini kita jadi bisa lebih dekat dengan keluarga di rumah. Biasanya masing-masing anggota keluarga sibuk di luar. Ketika bulan puasa pun sama, sibuk dengan berbagai macam acara di luar. Kali ini kan tidak,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Imam menyebut pihak yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah anak-anak. Pasalnya, orangtua, terutama ayah seringkali tidak memperha kan kondisi keluarga di rumah lantaran terlalu sibuk bekerja. Dia berharap setelah pandemi Covid-19 usai, terjadi peningkatan kualitas keluarga yang punya peran dan fungsi signifikan dalam menentukan nasib bangsa di masa mendatang.
Namun, di sisi lain dia juga tak menampik bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan terus menerus di rumah mendatangkan permasalahan baru. “Angka perceraian itu meningkat karena semua harus di rumah akibat Covid-19, tapi itu di luar negeri bukan di sini seperti nya. Kita doakan saja di sini baik-baik saja menjadi lebih dekat,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Imam pandemi Covid-19 juga kembali menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya tolong menolong antar sesama dan saling menguatkan di tengah ketidakpastian. Dia menyebut budaya gotong royong di Tanah Air masih cukup kuat, tercermin dari masifnya bantuan dari berbagai elemen masyarakat kepada mereka yang terdampak.
Hal tersebut tak terlepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih banyak melakukan interaksi sosial dibandingkan dengan masyarakat di belahan dunia lainnya. “Setiap manusia memang butuh interaksi sosial. Tetapi di Indonesia tak sekadar itu, budaya berkumpul satu sama lainnya erat. Digital saja tidak cukup tentunya. Tetapi tetap harus bersabar atau ditahan dengan kondisi saat ini,” ujarnya.
Imam juga mengingatkan agar pemerintah tak serta merta terlena dengan budaya yang sudah mengakar sejak lama ini. Menurutnya, pemerintah tetap harus andil agar pemberian bantuan secara swadaya oleh masyarakat bisa berjalan dengan baik.
“Kalau tidak, dikhawatirkan ada fatigue atau kejenuhan. Masyarakat kalau pemerintah begini-begini saja ya akhirnya jenuh. Enggak akan terus-terusan kasih bantuan. Kencang di awal saja tapi nan seterusnya belum tahu lagi. Tetapi intinya orang kita ini solidaritasnya kuat,” tuturnya.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rohadi menilai kuatnya solidaritas masyarakat Indonesia di tengah krisis seper saat ini tak terlepas dari budaya gotong royong sebagai modal sosial. Modal sosial dapat diar kan sebagai sumber daya berupa norma dan nilai yang dimiliki oleh masyarakat untuk memfasilitasi dan membangun kerja sama melalui jaringan interaksi dan komunikasi.
Dia meyakini berbagai aksi penggalangan dan pemberian bantuan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat tak akan berhenti begitu saja sampai pandemi Covid-19 benar-benar berakhir. Hal tersebut pula yang menurutnya berhasil meredam berbagai gejolak sosial di tengah masyarakat, khususnya tindakan kriminal akibat melonjaknya angka kemiskinan.
“Semua tidak terlepas dari modal sosial kita, gotong royong, saling membantu. Berbagai krisis yang melanda Indonesia puluhan tahun lalu itu berhasil diatasi pemerintah karena kuatnya solidaritas [masyarakat],” katanya.
Kuatnya solidaritas masyarakat Indonesia sejalan dengan Legatum Prosperity Index pada 2019 memosisikan Indonesia di posisi kelima dari 167 negara dalam kategori modal sosial. Kategori ini mengukur kemampuan personal dan hubungan sosial, nilai-nilai sosial, dan partisipasi masyarakat sebagai warga negara.
Demikian halnya dengan survei World Giving Index 2018 yang dilakukan oleh Charities Aid Foundation. Survei tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia dengan skor mencapai 59 persen, diukur dari pertolongan kepada orang asing yang membutuhkan, mendonasikan uang, dan kesediaan jadi sukarelawan.