Pembuatan batik tulis/www.peterloud.co.uk
Fashion

Hari Batik 2020, Begini Tantangan Batik Tulis

Gloria Fransisca Katharina Lawi
Jumat, 2 Oktober 2020 - 13:22
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Batik tulis khas Indonesia memiliki tantangan eksistensi seiring dengan tingginya gempuran produk wastra impor, dengan harga yang lebih murah.

Peneliti Batik dan Wastra Indonesia, William Kwan Hwie Liong, produk batik Indonesia yang masih eksis saat ini terdiri dari batik tulis, cap, kombinasi tulis dan cap, batik lukis, hingga batik cetak atau printing.

Untuk mempertahankan orisinalitas batik seturut penghargaan dari UNESCO, mau tak mau, idealisme pembatik tentu harus bertahan dengan gaya produksi membatik secara tulis dengan canting. Sayangnya, porsi untuk ekspor dari batik tulis semakin hari semakin kecil yakni 10 persen sampai 15 persen saja. Sebaliknya, untuk batik cetak bisa lebih dari 70 persen. 

Kondisi ini juga berimbas pada harga batik yang semakin terbanting di pasaran apalagi dengan kedatangan sejumlah produk batik asal negeri tirai bambu.

Dia mengambil contoh, batik cetak di Indonesia masih bisa ditemukan dengan harga Rp50.000, sementara batik cetak asal China bisa jauh lebih murah yakni Rp30.000. Alhasil, secara logis konsumen akan membeli batik yang lebih murah apalagi jika motif antara keduanya tidak jauh berbeda.

batik tulis, hari batik dunia, gandapura, batik slamet
batik tulis, hari batik dunia, gandapura, batik slamet

Batik tulis halus Gandara Pura./Instagram @batik_sutoyoslamet

Permasalahannya, apakah konsumen tahu dan bisa membedakan mana batik tulis, batik cap, batik print? Apakah konsumen bisa membedakan batik buatan Indonesia, dan batik buatan luar?

"Belum tentu, apalagi jika pedagang juga tidak teredukasi, tidak tahu membedakan, atau bahkan tidak jujur dalam menjelaskan ke konsumen,” ungkap William kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.

William pun menegaskan pentingnya pemerintah menyadari apresiasi batik dari UNESCO bukanlah sekadar sebagai identitas budaya tetapi konsekuensi untuk mendorong kelestarian budaya membatik dengan tradisi batik tulis.

Batik yang orisinal pun seharusnya ditulis, dicap, ataupun di print dua sisi. Sayangnya di Indonesia semakin ramai di pasaran batik yang hanya ditulis atau di print pada satu sisi. 

Selain masalah kebudayaan, di sisi lain, produksi pun harus digenjot untuk bisa menempati posisi teratas pada pasar global. Kendalanya pemangku kepentingan saat ini seharusnya tidak bisa menyamakan proses kerja batik tulis dengan batik print.

William menegaskan, batik tulis tidak bisa dikebut cepat selesai. Hasilnya pun selalu berbeda tidak sama persis. Problem ini ditambah dengan anak muda yang tidak mau menjadi pembatik, ataupun jadi pengusaha batik. 

“Sementara saat itu misalnya di Batang para pembatik itu tersisa sangat sedikit dan mereka adalah lansia, produktivitas kerja dan perlakuan tidak bisa disamakan,” ujar William.

batik tulis, batik pekalongan
batik tulis, batik pekalongan

Untuk menaikkan tren, popularitas, hingga memenangkan pasar global, para pemangku kepentingan harus bekerjasama untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. 

Pertama, kata William adalah pentingnya perbaikan desain. Hal ini diawali dengan edukasi kepada konsumen dalam membedakan produk batik asli, dengan kain yang hanya dicetak dengan motif batik. Perbedaannya terletak pada batik sebagai ikon kerja keras dan ketelatenan pembatik, dengan kain yang hanya mencetak motif batik dari mesin.

“Artinya Anda harus paham bedanya membeli batik, dengan membeli motif batik,” tuturnya.

Kedua, pentingnya kontrol politik melalui kebijakan untuk mendorong industri. Sejumlah insentif dan fasilitas pendukung bisa dikerjakan untuk mendorong regenerasi SDM, serta membuat batik tulis, batik cap, juga batik cetak Indonesia memiliki nilai tambah dan berdaya saing tinggi ketimbang batik impor.

Ketiga, pentingnya perluasan akses ke pasar baik secara daring maupun secara aktual. Perluasan akses ini juga harus didasari dengan keadilan ekonomi bagi pembatik, pedagang, dan konsumen.

William menegaskan, jangan sampai ketidakadilan ekonomi membuat bisnis batik tidak berkelanjutan dan membuat produksi batik tulis nantinya kian menyusut dan hanya menjadi kenangan atau benda bersejarah.

Menurutnya, penghargaan dari UNESCO ini menjadi penting sekaligus juga tak penting. Apresiasi ini hanya bermanfaat jika stakeholder sudah mampu mengembangkan industrinya.

"Kalau belum berhasil membuka keran industri hingga ekspor dengan optimal ke berbagai negara, apresiasi ini sebenarnya tidak memberi dampak apa-apa,” tuturnya.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro