Bisnis.com, JAKARTA - Tak dapat dipungkiri jika permasalahan anak kerdil (stunting) masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dirampungkan oleh Pemerintah Indonesia selain pandemi Covid-19 di 2021. Angka stunting di Indonesia terbilang tinggi atau masih di atas standar yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
Berdasarkan hasil survey Status Gizi Balita pada 2019 prevalensi stunting Indonesia tercatat sebesar 27,67 persen. Dengan demikian, dari 23 juta balita yang ada di Indonesia sebanyak lebih dari 6,3 juta diantaranya mengalami stunting.
Perlu dicatat, bahwa standar yang ditetapkan oleh WHO adalah prevalensi stunting di suatu negara tak boleh melebihi 20 persen. Oleh karena itu, tak berlebihan apabila Indonesia disebut menghadapi permasalahan besar terkait dengan pemenuhan gizi generasi penerus.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, tingginya angka prevalensi stunting menunjukkan tingginya permasalahan gizi yang dihadapi oleh Indonesia. Selain stunting, masalah gizi lain yang juga dihadapi oleh Indonesia adalah anak kurus (wasting) dan kegemukan (obesitas).
“Begitu besarnya permasalahan gizi yang dihadapi bangsa ini, mulai dari kekurangan gizi, kelebihan gizi, hingga kekurangan gizi yang tidak tampak atau hidden hunger sehingga saat ini Indonesia disebut memiliki tiga beban masalah gizi atau triple burden malnutrition,” ungkapnya.
Percepatan perbaikan gizi di Indonesia, tak terkecuali menekan angka prevalensi stunting mendesak untuk dilakukan agar momentum bonus demografi pada 2030 mendatang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, berdasarkan hasil kajian dari Bank Dunia, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara sebesar 2- 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Lebih lanjut, Suharso menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sejauh ini telah berupaya maksimal menekan angka prevalensi stunting. Termasuk diantaranya adalah meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 serta Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024.
“Kami sudah memulai percepatan penurunan stunting dan hasilnya sudah cukup baik. Namun, diperlukan upaya percepatan untuk mencapai target penurunan stunting 14 persen pada 2024, sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024,” tuturnya.
Upaya lain yang juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah bergabung dengan Scaling Up Nutrition (SUN) Movement, gerakan global di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk sebagai respons terhadap kondisi status pangan dan gizi di negara berkembang. Gerakan ini berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan anak, mulai dari janin dalam kandungan, bayi, hingga anak usia 6–23 bulan, termasuk juga kesehatan ibu hamil dan menyusui.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyebut pandemi Covid-19 makin menambah tantangan ketercapaian target penurunan angka prevalensi stunting pada 2024. Selain tertundanya pelayanan pemantauan tumbuh kembang anak di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), menurunnya pendapatan yang terjadi juga menurunkan kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses pangan bergizi.
"Untuk mencapai target penurunan stunting hingga 14 persen, perlu langkah yang luar biasa," tegasnya.
KESALAHPAHAMAN
Selain kemiskinan, kesalahpahaman sebagian besar orangtua di Tanah Air ketika memberikan makanan kepada anak-anaknya juga ikut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting.
Ketua Human Nutrition Research Center (HNRC) IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rina Agustina mengatakan masih banyak orang tua di Tanah Air yang salah kaprah saat memberikan makanan kepada anak-anaknya. Alih-alih memberikan makanan yang kaya akan gizi, makanan yang diberikan justru kaya akan kalori.
Asupan kalori yang lebih besar daripada kebutuhan tentunya tidak baik bagi tubuh. Baik anak-anak maupun orang dewasa, kelebihan asupan kalori menyebabkan kelebihan berat badan atau obesitas yang bermuara pada sejumlah penyakit seperti jantung koroner, diabetes, hipertensi, hingga gangguan pankreas.
“Jika [anak-anak] mengalami permasalahan [asupan] gizi, bisa berdampak adanya penyakit tidak menular karena organ tidak berjalan dengan baik," ujar Rina.
Rina menjelaskan makanan yang diberikan kepada anak-anak setidaknya mengandung makronutrien yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak serta mikronutrien yang terdiri dari zat besi, vitamin A dan seng. Kemudian, yang tak kalah penting adalah membatasi konsumsi gula, garam, dan minyak yang tinggi kolesterol jahat (low-density lipoprotein/LDL).
Sementara itu Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Umum (RSUD) dr. Soetomo, Surabaya dr. Meta Herdiana Hanindita menjelaskan orangtua harus memahami pentingnya nutrisi seimbang dalam makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Dia menyebut masih banyak anak-anak yang kekurangan asupan mikronutrien lantaran terus-menerus diberikan satu jenis makanan setiap harinya.
“Seperti contoh adalah pisang, sering orangtua salah paham hanya memberikan pisang. Padahal tidak mampu memenuhi kebutuhan mikronutrien [yang terdiri dari] zat besi, vitamin A, zinc [seng],“ ungkapnya.
Meta mengatakan kesalahpahaman orangtua terkait MPASI juga dipengaruhi oleh informasi keliru dari pihak yang tidak kompeten. Seringkali orangtua memberikan MPASI berdasarkan informasi yang didapatkan dari figur publik di sosial media, alih-alih ahli gizi atau dokter anak.
“Tidak semua informasi yang didapatkan dari sosial media itu betul. Sering influencer ngasih apa ke anaknya diikuti begitu saja,” tegasnya.
Selain itu, orangtua juga masih ada orangtua yang belum paham bahwa kebutuhan nutrisi, baik makronutrien dan mikronutrien berbeda-beda di setiap usianya. Sebagai contoh, banyak orangtua di Indonesia yang tak mengetahui bahwa anak-anak di usia 6-23 bulan membutuhkan asupan lemak setiap harinya.
“[Makanan mengandung] lemak harus [diberikan] setiap hari, tetapi masih ada yang belum paham ini. Anak-anak malah banyak diberikan protein nabati atau serat dari kacang-kacangan. Boleh saja, tetapi itu bukan priortitas seperti lemak,” papar Meta.
Sebagai solusi, Meta menyarankan agar orangtua memberikan MPASI instan yang kandungannya sudah mempertimbangkan kebutuhan bayi sesuai usianya. Dia memastikan bahwa MPASI instan yang ada di pasaran aman untuk dikonsumsi oleh anak-anak lantaran bebas dari pengawet dan bahan kimia berbahaya karena memang demikian persyaratan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang harus dipenuhi.
Terakhir, stunting di Indonesia masih terjadi karena orang tua masih menganggap susu kental manis sebagai susu yang bernutrisi bagi anak. Penelitian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama Pimpinan Pusat Aisyiyah menyebutkan bahwa kekerdilan pada anak (stunting) disebabkan oleh salah persepsi tentang susu kental manis (SKM) pada masyarakat yang berpandangan SKM sebagai susu bernutrisi tinggi.