Bisnis.com, JAKARTA - Fesyen merupakan kebutuhan sekunder yang tidak terlalu signifikan dibutuhkan masyarakat, apalagi di era pandemi saat ini. Tak heran bila penjualan produk fesyen sempat merosot tajam, terutama di masa awal kemunculan pandemi Covid-19.
Pengamat Pemasaran dan Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan bahwa selama ini fesyen telah menjadi produk leisure yang bukan hanya digunakan untuk menutupi badan tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga sering kali seseorang membeli fesyen bukan hanya untuk fungsinya melindungi tubuh tetapi lebih kepada branding.
Tak heran, di masa pandemi ini ketika secara umum kebutuhan konsumen benar-benar kembali ke dasar atau kebutuhan pokok maka produk-produk yang non esensial termasuk fesyen bukan menjadi sebuah prioritas.
“Apalagi di masa pandemi ini orang jarang keluar dan bertemu banyak orang sehingga kebutuhannya akan produk fesyen menjadi tidak esensial. Boro-boro membeli yang baru, masih banyak baju di lemari yang tidak terpakai karena lebih banyak di rumah,” tuturnya.
Kondisi ini menyebabkan brand-brand fesyen atau clothing brand untuk semua kategori, termasuk brand high end ternama yang telah berdiri puluhan tahun lamanya mengalami kemerosotan penjualan secara signifikan, bahkan ada yang mencapai lebih dari 50%.
Hal ini sejalan dengan laporan McKinsey yang memperkirakan pendapatan industri mode global minus 27%-30% pada tahun 2020 . Terutama untuk produk fesyen yang benar-benar memanfaatkan penjualan secara offline atau clothing store.
Bahkan, sambungnya, sejumlah brand fesyen dunia yang telah berusia puluhan tahun bahkan lebih dari satu abad berdiri banyak yang menutup gerai bahkan menyatakan bangkrut karena tidak mampu menahan tekanan akibat pandemi Covid-19. Beberapa brand besar tersebut antara lain Brooks Brothers, Zara, Victoria’s Secret, Century21, Muji, J.C. Penny, hingga H&M.
Sebetulnya, sejumlah brand-brand besar dan departemen store fesyen tersebut sudah mulai tertekan ketika banyak masyarakat yang saat ini lebih memilih berbelanja secara online, tetapi tekanan makin kuat dan tak mampu lagi dibendung saat pandemi terjadi.
“Sebelum pandemi brand-brand besar yang memiliki departemen store ini sudah dihajar oleh digital karena kecenderungannya milenial dan generasi Z saat ini lebih banyak yang membeli produk secara online dan corona ini makin membuat perusahaan yang usianya sudah sangat lama dan legendaris tersebut tak mampu bertahan lagi. Apalagi masyarakat kini benar-benar selektif membelanjakan pengeluaran untuk sesuatu yang benar-benar dibutuhkan,”tuturnya.
Kondisi sebaliknya terjadi pada penjualan secara online melalui marketplace, seperti di Shopee yang berdasarkan laporannya justru mengalami peningkatan penjualan produk fesyen hingga 2,5 kali lipat serta penambahan jumlah tenant hingga 2 kali lipat.
Ini terjadi karena banyak pelaku usaha fesyen yang mulai mengalihkan bisnisnya dengan membuka official store di marketplace seperti Shopee dengan berbagai inovasi produk. Pasalnya,penjualan secara fisik saat ini benar-benar anjlok akibat masyarakat sangat jarang pergi ke pusat perbelanjaan.
“Secara keseluruhan fesyen memang menurun tetapi fenomenanya terjadi perpindahan dari sebelumnya belanja fesyen ke toko fisik atau departemen store kini banyak yang luber ke digital. Banyak pula UMKM yang awalnya berjualan secara offline kini mulai memanfaatkan platform e-commerce,” ujarnya.
Yuswohady juga melihat bahwa dalam masa pandemi ini, pelaku UMKM di bidang fesyen justru jauh lebih lincah dan adaptif dibandingkan dengan brand-brand besar. Memang pada masa awal kemunculan pandemi, UMKM lebih dulu mati karena kondisi keuangan mereka yang sangat terbatas.
Namun, pelaku UMKM ini lebih cepat bangkit karena mereka lebih mudah beradaptasi dan melakukan berbagai inovasi dibandingkan dengan brand-brand fesyen besar.
Apalagi produk yang dikeluarkan UMKM sifatnya lebih fungsional dengan harga yang jauh lebih terjangkau, bila dibandingkan dengan brand fesyen ternama yang lebih banyak dibeli karena branding atau lebih bersifat emosional.
“Tentu para pelaku usaha harus dapat men-drive penjualannya dengan melakukan promo bisa dengan membuat harga lebih terjangkau hingga melakukan inovasi produk sesuai kebutuhan atau tren pasar,” tuturnya.
Salah satu pelaku usaha yang cepat beradaptasi dan menangkap peluang di masa pandemi ini adalah brand fashion Cammomile. David Sanjaya, Founder Cammomile mengatakan pada masa awal pandemi penjualan merosot tajam apalagi saat itu Cammomile juga memiliki gerai offline di sejumlah pusat perbelanjaan.
Namun, dengan kondisi yang terjadi tersebut mendorong Cammomile mengubah strategi dengan lebih fokus mengembangkan brand secara online dengan membuka official store di sejumlah platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Blibi, Bukalapak, dan lain sebagainya.
“Dengan membuka official store secara online, kami bisa menjangkau pasar lebih luas dan tidak terbatas pada lingkup tertentu seperti penjualan offline,” ujarrnya.
Selain itu, pihaknya juga terus melakukan adaptasi dengan mengeluarkan sejumlah rangkaian produk yang disesuaikan dengan tren fesyen di masyaraka. Misalnya pada masa awal pandemi banyak yang membutuhkan masker, lantas mereka pun meluncurkan masker kain yang disesuaikan dengan baju.
“Lalu karena banyak yang di rumah aja, masyarakat butuh baju yang nyaman dipakai di rumah tapi tetap modis, maka kami pun meluncurkan piyama, dan ternyata tanggapan masyarakat sangat bagus,” tuturnya.
Proses adaptasi juga dilakukan oleh Carolina Danella Laksono, Pendiri Cottonology yang bergerak cepat melakukan inovasi produk dengan meluncurkan celana pendek yang nyaman digunakan saat beraktivitas di rumah.
Pasalnya, sebagai brand fesyen yang fokus menjual produk kemeja pria, Cottonology sempat mengalami penurunan karena saat itu masyarakat jarang membeli produk kemaja karena sebagain besar aktivitas masyarakat dilakukan di rumah sehingga tidak terlalu membutuhkan produk fesyen.
Ternyata, inovasi dengan menghadirkan celana pendek atau celana bokser tersebut membuahkan hasil karena permintaannya sangat tinggi. Dia bahkan sampai menambah jumlah tenaga penjahit dan memberdayakan masyarakat sekitar untuk membantu memproduksi celana bokser untuk memenuhi permintaan masyarakat.
“Untuk celana bokser ini permintaan sangat besar bahkan bisa mencapai 15.000 potong per bulan. Kami juga menjualnya dengan harga yang terjangkau yaitu Rp120.000 untuk 5 potong celana,” ujarnya.
Secara rata-rata penjualan Cottonology selama masa pandemi ini bisa mencapai sekitar 20.000 pcs, sekitar 15.000 pcs dikontribusikan dari penjualan bokser. Adapun kemeja pria sekitar 2.000 hingga 3.000 potong, dan produk lainnya, termasuk parfum yang mulai diproduksi.
Olin mengatakan bahwa penjualan di masa pandemi ini justru meningkat dibandingkan sebelum pandemi yang secara rata-rata perbulan terjual sekitar 10.000 produk, kini justru mampu menjual hingga 20.000 pcs.
“Bokser ini benar-benar seperti penyelamat bisnis kami. Dalam kondisi ini kita memang harus cepat beradaptasi dan mengetahui tren pasar seperti apa. Dan ternyata produk fesyen rumahan yang lebih nyaman dan santai yang justru sangat diminati,” tuturnya.
Dengan penjualan yang signifikan tersebut, Cottonology berhasil masuk sebagai produk lokal dengan penjualan tertinggi di beberapa platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, Blibli, Tokopedia, dan Bukalapak.