Bisnis.com, JAKARTA - Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi dari Universitas Indonesia dr. Yosephin Sri Sutanti baru-baru ini membuat penelitian terhadap risiko stres akibat pajanan fisik, kimia, biologi, ergonomi maupun psikososial saat bekerja, terutama pada perawat.
Sebelumnya Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan prevalensi stres perawat mencapai 50,9 persen. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus, tentu saja akan berlanjut menjadi gangguan dan penyakit, baik fisik maupun mental, seperti hipertensi, diabetes, penurunan imunitas tubuh, atau depresi.
Tingginya angka prevalensi stres pada pekerja kata Yosephin menunjukkan perlunya deteksi dini sejak awal, antara lain dengan cara pemeriksaan kesehatan pada pekerja, agar dapat mencegah gangguan atau penyakit yang lebih berat.
Dari penelitian yang dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI, Laboratorium Kesehatan Daerah DKI, Poli Madya RSCM, Poli Neurologi RSCM, dan Medical Technology IMERI, selama Desember 2019 sampai dengan Juni 2020, hasilnya menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol (hormon stres) pada perawat usia reproduksi yang bekerja shift lebih rendah dibandingkan yang tidak bekerja shift pada saat sebelum bekerja, tetapi lebih tinggi pada saat sesudah bekerja.
Demikian juga dengan rerata kadar melatonin (hormon yang mengatur pola tidiur) pada perawat usia reproduksi yang bekerja shift lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja shift, baik pada saat sebelum bekerja maupun sesudah bekerja. "Hal ini kemungkinan karena adaptasi dan kemungkinan terjadinya chronic low grade inflamation secara biomolekulerpada pekerja shift," ujarnya dalam siaran pers yang diterimas Bisnis, Senin (1/3/2021).
Yosephin mengatakan dalam penelitian ini memang responden berasal dari perawat shift dan non-shift, dengan mengambil data secara consecutive sampling. Studi melibatkan masing-masing 40 orang dari tiap kelompok. Penelitian ini memeriksa komponen darah, sistem saraf otonom dan aktivitas gelombang listrik otak
Pemeriksaan darah berupa pemeriksaan kortisol, melatonin dan CRF (hormon yang terlibat dalam respon stres) masing-masing dua kali, yaitu pada kelompok shift sebelum bekerja pada pukul 24.00 pada hari jaga terakhir (malam kedua), kemudian saat pasca bekerja pada pukul 08.00 keesokan harinya.
Pada kelompok non-shift dilakukan pada hari kerja pukul 08.00 dan pada pukul 16.00. Pemeriksaan sistem saraf otonom dengan cara pengukuran Heart
Rate Variability (HRV) dilakukan dua kali dan pemeriksaan aktivitas listrik otak dengan pengukuran Quantitative-EEG(Q-EEG) satu kali pada saat lepas jaga (untuk shift) dan saat bekerja (untuk non-shift)
Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan kadar CRF pada perawat usia reproduksi yang bekerja shift cenderung lebih rendah dibandingkan yang tidak bekerja shift, baik pada saat sebelum bekerja maupun sesudah bekerja.
"Secara keseluruhan, pemeriksaan darah kadar kortisol, CRF, dan melatonin dapat digunakan secara bersama-sama sebagai markah biologi berdasarkan perubahan dari waktu ke waktu terhadap tingkat stres," jelasnya.
Di sisi lain, dari pengukuran aktivitas listrik otak didapatkan frekuensi gelombang Q-EEG pada perawat usia reproduksi yang bekerja shift cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok non-shift. Hal ini katanya dapat menjadi kandidat predictor akibat kerja shift yang harus diwaspadai karena dapat membahayakan jika berlangsung terus menerus.
"Penelitian selanjutnya harus dilakukan untuk melihat tendensi ini," saran Yosephin.