Bisnis.com, JAKARTA – Preeklampsia dikenal juga dengan nama toxemia gravidarum atau keracunan kehamilan, merupakan gangguan kehamilan yang ditandai dengan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urine.
Preeklampsia harus diberikan penanganan untuk mencegah komplikasi dan mencegahnya menjadi eklamsia yang dapat membahayakan nyawa ibu dan janin.
Meski belum diketahui penyebabnya, preeklampsia sering dihubungkan dengan adanya masalah pada plasenta, yang disebabkan oleh problem pada pembuluh darah pemasok plasenta. Kondisi ini terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
“Kami menganggap serius masalah ini dari tahun ke tahun, demikian juga para dokter kandungan di seluruh dunia,” kata Agus Sulistyono, Ketua Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya yang juga Ketua Penurunan Angka Kematian Ibu Surabaya, Jumat (21/5/2021).
Dia berharap para ibu hamil beserta pasangan dan keluarganya lebih menyadari bahayanya dengan mengenali gejalanya dan terbuka pada dokter kandungannya mengenai masalah kesehatan yang dialami. Dengan demikian, diharapkan bisa lebih meningkatkan awareness dan segera bergerak (act now, screen now) untuk mencegah terjadinya preeklampsia ini.
International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation mencatat preeklamsia mengakibatkan kematian Ibu hingga 76.000 disertai kematian 500.000 bayi setiap tahun. Artinya, 10 persen atau 1 dari 10 ibu hamil ini akan mengalami preeklampsia dan 20 persen dari yang terdampak preeclampsia ini akan berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm(persalinan sebelum masanya).
Diperlukan keseriusan dalam menghadapi preeklampsia, karena fakta menunjukkan kematian Ibu sebanyak itu secara disproporsional 99 persen terjadi di negara dengan pendapatan perkapita yang rendah (low-middle income countries).
Angka Kematian Ibu (AKI) bukan hanya sebagai indikator kesehatan melainkan indikator kesejahteraan suatu negara, namun sayangnya AKI di Indonesia ini masih cukup tinggi atau sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup dimana jumlah ini menjadi terbanyak kedua di wilayah Asean (tertinggi Laos, AKI: 357; terendah Singapore, AKI: 7).
“Diproyeksikan sekitar 14.640 Ibu hamil meninggal setiap tahunnya dan ini terjadi secara konstan (jumlah yang sama dengan sepertiga total kematian terkait Covid-19 pada 2020). Jika kita telaah lebih dalam lagi ternyata mayoritas penyebab kematian Ibu ini adalah preeklampsia (sekitar 33,07 persen),” kata Manggala Pasca Wardhana, dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya.
Nareswari Imanadha Cininta Marcianora, dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya, mengatakan bahwa hingga saat ini, belum ditemukan terapi ataupun obat untuk preeklampsia.
"Satu–satunya cara untuk menghentikan proses hipertensi dan kerusakan organ adalah dengan menyegerakan persalinan, sehingga sumber toksin / racun yang berasal dari plasenta tadi dapat dilahirkan, diselesaikan dan dampak kerusakan organ Ibu hamil dapat dihentikan,” katanya.
Meski belum dapat diketahui penyebabnya, namun Cininta mengatakan preeklampsia dapat diprediksi melalui gejala berikut:
- Memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil
- Memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
- Memiliki penyakit tertentu: diabetes, gangguan ginjal dan penyakit autoimun seperti lupus, antifosfolipid
- Obesitas (indeks massa tubuh kurang lebih 30 kg/m2)
- Riwayat keluarga menderita preeklampsia
- Hamil kembar dua atau lebih
- Hamil pertama kali
- Jarak kehamilan terakhir kurang lebih 5 tahun
- Berusia diatas 40 tahun
Sehingga apabila ibu hamil mengalami hal tersebut sebaiknya segera melakukan skrining risiko melalui tenaga kesehatan tempat pasien tersebut melakukan kontrol kehamilan (act now, screen now).
Kebanyakan pasien yang mengalami preeklampsia tidak akan memberikan keluhan apapun. Oleh karena itu, ibu hamil wajib memeriksakan tekanan darah secara rutin, agar mengetahui secara dini jika didapatkan hipertensi.
Jika ibu hamil sudah merasakan keluhan seperti pusing, pandangan kabur atau nyeri ulu hati dan sesak, umumnya kondisi ini identik dengan preeklampsia yang berat, yang kemungkinan besar berdampak pada komplikasi, kecacatan atau bahkan kematian bagi ibu dan janin.
Secara umum penatalaksanaan preeklampsia pada kondisi berat adalah persalinan, sehingga sering persalinan pada kondisi usia kehamilan yang masih dini diperlukan, sehingga timbul masalah lainnya yaitu meningkatnya prematuritas yang menjadi faktor utama tingginya angka kematian bayi.
Tidak selesai di sini, beberapa penelitian juga menunjukkan dampak jangka panjang dari preeklampsia ini pada ibu tersebut, antara lain meningkatnya risiko stroke, hipertensi, diabetes melitus, kelainan ginjal hingga kelainan jantung.
Kondisi di negara berkembang seperti Indonesia juga tidak terkecuali terdampak berat akibat preeklampsia. Salah satu penelitian di RS rujukan tersier Surabaya menunjukkan tingginya prevalensi preeklampsia hingga 21 persen, dan yang lebih berat lagi ditemukan komplikasi organ cukup berat yaitu penumpukan cairan di paru-paru hingga 5,6 persen kasusnya atau 2 kali lipat dari laporan negara lain.
Ini menunjukkan upaya pencegahan dan penanganan preeklampsia di negara kita masih belum baik sehingga masih sering ditemui kasus preeclampsia dalam kondisi yang sudah buruk.
Tindakan kesehatan yang paling penting dan berdampak signifikan adalah prevensi atau pencegahan. Peningkatan edukasi kesehatan kehamilan ini dapat menjadi upaya pencegahan preeclampsia sebagai salah satu komplikasi kehamilan yang berat.
Beberapa contoh upaya pencegahan ini dibuktikan di Surabaya melalui program Penakib (Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi) yang mana dengan menerapkan skrining preeklampsia secara masif di layanan kesehatan dapat menurunkan angka kematian ibu dari 60 kasus pada 2012 menjadi 25 kasus pada 2019, total kematian karena preeklampsia juga dapat ditekan dari 18 kasus menjadi 10 kasus.
Tentunya upaya pencegahan ini akan semakin berhasil jika pengetahuan dan awareness ini juga diketahui oleh ibu hamil ataupun pasangan usia subur dan keluarganya sehingga bagaimana melakukan persiapan kehamilan, mengetahui apa potensi bahaya kehamilan seperti preeclampsia ini dapat dicegah dan di minimalisir dampaknya.
“Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian Ibu di Indonesia,” tutup dokter Agus Sulistyono.