Swab Test/
Health

Swab Antigen dan PCR, Kapan Harus Tes dan Bagaimana Mengukur Keakuratan?

Ni Luh Anggela
Rabu, 30 Juni 2021 - 14:18
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Di Indonesia, ada beberapa jenis tes covid-19 yang kini digunakan.

Mulai dari rapid test, swab antigen, Genose, hingga yang dinilai paling akurat adalah swab PCR.

Seringkali, orang merasa bingung jenis mana yang harus digunakan. Terutama untuk swab antigen dan PCR.

Banyak yang melaporkan ketika hasil antigen positif, ternyata saat swab PCR negatif, atau sebaliknya. Lantas, bagaimana sebenarnya yang harus dilakukan dan mengetahui keakuratannya?

Banyak beredar informasi yang menyebutkan bahwa tes antigen dinyatakan positif apabila CT Value kurang dari 25. Apakah benar demikian?
 
Tonang Dwi Ardyanto, dokter spesialis patologi klinik melalui laman Facebooknya menyampaikan bahwa pernyataan tersebut tidak tepat. Tes antigen disebut positif apabila jumlah virusnya tinggi. Ketika jumlah virus menurun, maka akurasi tes antigen juga ikut menurun, sampai akhirnya menjadi negatif.
 
CT  Value tidak selalu tepat menggambarkan jumlah virus. Maka patokannya bukan ‘pasti sekian jadi negatif’.
 
Menurutnya, benar bahwa ketika dilakukan penelitian secara cermat sejak dari pengambilan sampel, maka puncak akurasi tes antigen adalah pada CT Value 18 hingga 25. Setelah itu, akurasinya menurun seiring penurunan jumlah virus. Tetapi, CT Value tidak selalu menggambarkan secara tepat jumlah virusnya.
 
Maka dari itu, Tonang menegaskan untuk tidak sembarangan menggunakan tes antigen dan juga semua tes lainnya. Ada saatnya tes antigen masih negatif ketika PCR sudah positif, dan ada saatnya tes antigen sudah negative ketika PCR masih positif.
 
Kapan sebaiknya tes antigen dan PCR?
 
Tes dapat dilakukan pada saat virus sudah saatnya bisa dideteksi. Saat itu menurutnya, virus sudah melebihi Limit of Detection (LoD). Bila masih di bawah LoD, maka tes tidak bisa mendeteksi walau virusnya ada.
 
LoD PCR lebih rendah daripada LoD tes antigen. Di awal infeksi, PCR rata-rata mulai dapat terdeteksi pada 3 hari setelah kontak terakhir. Sedangkan tes antigen rata-rata mulai terdeteksi beberapa jam sampai satu hari setelah PCR mulai terdeteksi.
 
Gejala Covid rata-rata terjadi mulai hari ke 5. Saat itu juga jumlah virus mencapai puncaknya. Maka pada hari ke 5 hingga 7 itulah akurasi PCR paling tinggi. Saat itu juga tes antigen sangat akurat. Tapi tidak berarti risiko infeksius hanya pada hari-hari tersebut.
 
Setelah mencapai puncak virus menurun, ketika mencapai batas LoD tes antigen, maka menjadi negatif. Biasanya terjadi sekitar 5 sampai 7 hari setelah timbul gejala.
 
Tapi saat itu masih di atas LoD PCR, maka masih positif. Risiko penularan masih belum dapat dinyatakan benar-benar aman. Rata-rata PCR positif sampai 17 hingga 21 hari sejak terjadi infeksi. Memang ada yang ekstrem memanjang. Tetapi sangat jarang.
 
Ada dua kondisi yang perlu diperhatikan.
Pertama, kondisi kontak erat yang tanpa gejala atau timbul gejala tetapi tidak sampai harus dirawat di rumah sakit. Maka langkahnya adalah:

a. Segera tes antigen atau PCR pada hari dinyatakan sebagai kontak erat.
Bila positif, langsung dinyatakan positif. Tidak perlu mengulang tes. Langsung dilakukan isolasi dan penanganan sesuai pedoman isolasi.

“Kalau ternyata kemudian timbul gejala, soal tes atau tidak, itu nanti urusannya dokter atau rumah sakit yang merawat bila memang perlu perawatan di rumah sakit.” katanya.

Jika tes pertama Anda dinyatakan negatif, lanjutkan karantina.

b. Pada hari ke 5, lakukan tes antigen atau PCR lagi. Bila positif, lanjutkan isolasi sesuai gejala dan waktunya. Bila negatif, maka Anda dapat mengakhiri masa karantina tetapi Anda tetap harus berhati-hati.
 
Dasar penetapan 5 hari itu dikarenakan puncak virus terjadi pada hari ke 5. Bila benar terjadi infeksi saat kontak erat, maka paling lambat akan positif pada hari ke 5.
 
Kondisi kedua, karena ada gejala khas Covid dan sampai membutuhkan perawatan di rumah sakit:
a. Lakukan tes PCR atau antigen pada saat timbul gejala. Bila positif, langsung dinyatakan konfirmasi dan dilakukan perawatan sesuai pedoman isolasi sesuai gejala. Tidak harus ada tes hari ke 2. Bila negatif, lanjutkan isolasi sebagai suspek.

b. Hari ke 2 lakukan tes PCR untuk konfirmasi. Bila jadi positif, lanjutkan sebagai pasien konfirmasi dan isolasi sesuai pedoman. Bila negatif, maka dinyatakan sebagai discarded, artinya sakit, terinfeksi tapi bukan karena Covid.

Mengapa beda dengan kondisi pertama? Karena sudah ada gejala yang khas, berarti jika benar terinfeksi, sudah sampai pada sekitar hari ke 5. Maka dilakukan tes dalam dua hari berturut-turut.
 
Hubungan antara tes antigen dengan PCR
Ketika terjadi infeksi, virus masuk dalam sel. Kemudian perlu waktu untuk bereplikasi (berkembang biak). Maka dari itu, sekitar H+1 hari setelah terjadinya infeksi, tes antigen maupun PCR masih negatif.
 
Pada H+2, mulai PCR akan mulai mendeteksi tapi masih sangat kecil jumlah virusnya. Mulai H+3 sudah bisa didapatkan hasil positif PCR. Saat itu, jumlah virus sudah melewati LoD (Limit of Detection : batas terendah jumlah virus untuk dapat dideteksi) untuk PCR tapi belum mencapai LoD tes antigen. Maka dapat terjadi saat itu PCR nya positif tapi tes antigennya masih negatif.
 
Kemudian virus semakin bertambah. Karena fase perkembangannya cepat, maka dalam hitungan jam (dilaporkan maksimal jaraknya 24 jam) maka tes antigen akan mengikuti menjadi positif. Setelah itu, masuk fase dengan PCR dan antigen sama-sama positif.
 
Setelah melewati puncak jumlah virus, diikuti penurunan. Pada suatu saat, jumlah virus sudah menurun melewati LoD tes antigen. Saat itulah tes antigen menjadi negatif lagi. Tapi apabila jumlah virus masih di atas LoD PCR, maka PCR masih tetap positif.
 
Tidak seperti fase awal infeksi, pada fase ini penurunan jumlah virus bergerak perlahan. Maka setelah tes antigen negatif, masih perlu waktu untuk PCR menjadi negatif. Karena itulah tes antigen tidak tepat untuk tes evaluasi di akhir isolasi.
 
Titik ini, diestimasikan bahwa perubahannya pada saat CT Value sekitar 30 (dalam rentang dengan batas negatif pada CT Value 40). Karena itulah ada yang berpendapat bahwa yang penting tes antigen sudah negatif karena sudah tidak menular. Sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada analisis sudut pandang epidemiologi dan kasus perorangan. Maka tetap bahwa tes antigen tidak tepat digunakan untuk tes evaluasi di akhir isolasi.
 
Di sisi lain, begitu tes antigen menjadi negatif, maka secara perlahan antibodi mulai muncul dan tes antibodi menjadi reaktif. Maka saat itu terjadi: PCR masih positif, tes antibodi sudah reaktif, sampai nanti perlahan-lahan PCR menjadi negatif. Karena itulah bila memang hendak melakukan evaluasi, maka harus menggunakan tes PCR.
 
Dengan pemahaman inilah, sebenarnya begitu ada hasil tes antigen positif maka tidak perlu lagi ada tes PCR. Karena secara logika, tes antigen positif sudah pasti diikuti PCR positif. Sebaliknya, kalau PCR positif, bisa saja saat itu tes antigen belum positif atau sudah negatif.
 
Apakah benar tidak mungkin terjadi tes antigen positif diikuti PCR negatif?
Menurutnya, bila tes antigen dilakukan karena ada gejala dan/atau kontak erat, maka kemungkinan 99,9 persen PCR positif. Syarat pertama, Kit antigen memenuhi syarat. Paling mudah adalah dengan mengikuti daftar dari WHO dan yang sudah terverifikasi Kemenkes.
 
Syarat kedua, tidak ada masalah dalam pemeriksaan PCR termasuk pengambilan swabnya akurat. Salah satu yang sering terjadi adalah selesai swab antigen hasilnya positif, langsung pindah tempat, swab lagi, tes PCR. Kalau seperti ini, risikonya dapat terjadi PCR negatif. Maka harus ada jeda minimal 24 jam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro