Bisnis.com, JAKARTA - Kekerasan yang dilakukan oleh anak kepada teman-temannya ternyata masih saja menjadi pekerjaan rumah bagi orang tua selama pandemi Covid-19 melanda.
Berkurangnya interaksi secara langsung ternyata tak menjadi penghalang bagi anak-anak untuk melakukan tindak kekerasan.
Tentu, kekerasan yang mereka lakukan caranya jauh berbeda. Bahkan, acapkali tindakan tersebut tak terdeteksi oleh para orang tua yang sama-sama berada di rumah.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Rita Pranawati, anak-anak usia sekolah kini melakukan kekerasan terhadap teman-teman sebayanya menggunakan gawai yang mereka miliki. Bentuk kekerasan yang dilakukan bisa berupa intimidasi, perundungan, hingga pelecehan seksual yang dikirimkan atau disampaikan lewat pesan instan atau media sosial.
"[Sebanyak] 67 persen dilakukan oleh anak laki-laki. Tetapi anak perempuan juga bisa dibilang cukup tinggi. Tentunya mereka ada di usia sekolah atau memasuki masa remaja," katanya belum lama ini.
Rita menyebut kekerasan yang dilakukan oleh anak tak terlepas dari lemahnya pengawasan orangtua dan rendahnya literasi digital. Selama pandemi Covid-19, banyak orangtua yang melepaskan begitu saja anak-anaknya ketika menggunakan gawai.
Dengan demikian, mereka dapat dengan mudahnya mengakses berbagai informasi yang seharusnya tak layak mereka konsumsi. Mereka juga dengan mudah berkenalan dengan orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya.
"Informasi-informasi tidak baik mereka mudah dapatkan dan pelajari. Mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya secara jelas. Tentunya ini berbahaya karena mereka rentan menjadi korban kekerasan atau pelecehan," tutur Rita.
Lebih lanjut, Rita menjelaskan sudah banyak kasus yang bisa dijadikan pelajaran oleh orangtua agar anaknya tak sembarangan menggunakan gawai. Seperti anak perempuan usia belasan yang melacurkan dirinya setelah berkenalan dengan pria dewasa dan masih banyak lagi.
"Ada juga anak yang menggunakan identitas gurunya di media sosial kemudian menghubungi teman-teman perempuannya untuk mengancam minta foto organ vitalnya. Mereka belajar dari mana ide ini tentu harus dipertanyakan," ungkapnya.
Pengawasan tentu saja menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar anak tak menjadi pelaku atau korban kekerasan secara daring. Walaupun demikian, pengawasan tersebut tidak serta merta membuat orangtua harus menjadi otoriter dalam mendidik anak.
Bagaimanapun juga anak yang dididik secara otoriter cenderung tertutup. Mereka tidak mau membagikan pengalamannya atau sekadar bertanya tentang sesuatu yang mereka tidak tahu atau pahami kepada orangtuanya.
Tentunya, ini bukan hal yang tepat ketika bicara mengenai kekerasan secara daring melalu gawai yang sulit dideteksi tanpa ada pengakuan.
"Dalam hal pengasuhan didengarkan pendapatnya. Anak nantinya dengan sendirinya akan terbuka dan menceritakan segala sesuatunya kepada orangtua apabila orangtua demokratis," tegasnya.
Terakhir, yang paling penting adalah batasi penggunaan gawai oleh anak dan berikan pendampingan atau bekal pengetahuan dalam menggunakan gawai. Pembelajaran jarak jauh menggunakan gawai bukan berarti membuat anak bisa seenaknya menggunakan gawainya.
"Diberikan pengetahuan atau dituntun karena mereka pada dasarnya belum mengetahui apa-apa. Jangan dilepas begitu saja, anak bisa naik sepeda saja karena dituntun dan diajari, demikian juga ketika pakai gawai," pungkasnya.