Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 untuk menciptakan generasi emas dan melindungi kesehatan anak-anak di Indonesia. Namun, implementasinya masih melempem dan belum ada pengaturan yang lebih detail.
Kepala Djokosoetono Research Center, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Patricia Rinwigati Waagstein mengatakan bahwa pelaksanaan PP 28 Tahun 2024 belum maksimal. Dia mendorong agar mendesak pemerintah segera menyelesaikan peraturan menteri yang dibutuhkan untuk implementasinya.
PP 28 Tahun 2024 juga mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau demi kesehatan, terutama di wilayah yang melibatkan anak, belum menunjukkan kemajuan berarti. Setelah satu tahun berlalu, kebijakan ini stagnan, dan peredaran rokok masih dengan mudah menjangkau anak-anak dan remaja.
“Sudah satu tahun berlalu, mari kita lihat kembali, apa yang sudah dan belum kita lakukan, PR-nya masih banyak. Oleh karena itu, saya sangat menghimbau kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan peraturan-peraturan menteri yang sangat dibutuhkan untuk melaksanakan PP ini," ujarnya, akhir pekan ini.
Dia menekankan bahwa hak atas kesehatan tidak bisa ditunda, apalagi hak anak. Menurutnya, pemerintah harus berpihak pada kesehatan anak.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatatkan terdapat 5,9 juta anak usia 10–18 tahun perokok aktif. Angka ini cukup mengkhawatirkan, sebab data menunjukkan anak-anak di Indonesia mulai menghisap produk tembakau sejak duduk di kelas 3 SD.
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, juga menyesalkan mandeknya implementasi regulasi ini. Menurutnya, momen satu tahun PP ini justru terasa menyedihkan karena tidak ada perubahan berarti.
"Apalagi dalam momentum Hari Anak Nasional (23 Juli), ketika PP ini tidak diimplementasikan, berarti membiarkan 5,9 juta anak terus menjadi korban rokok dan maupun asap rokok," ujar Tulus.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mengungkapkan pemantauan KPAI di 7 provinsi menunjukkan bahwa implementasi PP 28 Tahun 2024 di lapangan belum memperlihatkan perubahan signifikan.
"Warung-warung yang menjual rokok masih mudah diakses dan rokok masih dibeli oleh anak-anak kita," ungkap Jasra.
Namun, intervensi dari dunia industri cukup mengkhawatirkan, sebab muncul kampanye bahwa pelarangan penjualan rokok area sekitar sekolah kepada anak-anak diklaim menurunkan penjualan industri.
KPAI mengungkapkan bahwa anak-anak yang menjadi perokok pasif dan juga aktif bisa memiliki gangguan kesehatan jangka panjang, dan mudah terserang penyakit pada usia 20 tahunan.
"Ketika anak berhadapan dengan hukum, ada tiga paket yang sering kami temui di kantor polisi: mulai dari merokok, bergeser ke narkoba, lalu melakukan kekerasan seksual," jelasnya.
Jasra menggambarkan rokok sebagai pintu gerbang menuju berbagai perilaku berisiko. Menurutnya, upaya mewujudkan Generasi Emas 2045 tidak bisa dilakukan tanpa perlindungan serius terhadap anak.
"Industri candu ini sengaja menyasar anak-anak kita karena jumlahnya banyak," ujar Jasra, merujuk pada 84,3 juta populasi anak di Indonesia, dengan berdasarkan data
Dia menyerukan agar pemerintah serius mengimplementasikan PP 28/2024 dan turunannya, serta memperkuat Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) demi melindungi anak-anak sebagai pewaris masa depan bangsa. (Muhamad Ichsan Febrian)