Bisnis.com, JAKARTA – Setelah hampir setahun lebih melakukan sekolah secara daring atau online, kini beberapa wilayah di Indonesia tengah mempersiapkan kembali pembelajaran tatap muka (PTM).
Bahkan, di DKI Jakarta terhitung sejak 30 Agustus telah memulai sekolah tatap muka terbatas.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyebutkan pembelajaran tatap muka terbatas dilakukan di 610 sekolah yang ada di Ibu Kota. Mengingat ancaman virus Covid-19 belum mereda, program pembelajaran tatap muka tersebut tetap dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan.
Sejalan dengan hal itu, program vaksinasi bagi anak 12-17 tahun juga terus dikebut oleh pemerintah Indonesia. Pemberian vaksin tersebut juga sebagai upaya untuk mempersiapkan anak dalam pembelajaran tatap muka.
Melakukan rutinitas yang berbeda di masa pandemi ini turut menggangu emosional anak. Oleh karena itu, menurut Psikolog Anak dan Keluarga, Roesdiana Setyaningrum, anak akan sangat bahagia dengan dilakukan kembali sekolah tatap muka.
“Pastinya anak senang. Mereka akan kembali bertemu dengan teman-temannya. Banyak anak yang melihat sekolah itu bukan cuma tempat belajar saja. Jika sekolah online, fungsi sekolah tuh jadi hanya untuk menerima pelajaran,” ujarnya saat dihubungi oleh Bisnis, Senin (30/8/2021).
Roesdiana menjelaskan jika saat belajar tatap muka di sekolah banyak sekali yang bisa anak pelajari. Mulai dari beroganisasi, bersosialisasi dan masih banyak lagi yang bisa di dapatkan jika sekolah langsung.
Menurutnya, dengan kebijakan itu justu yang dilanda oleh rasa cemas adalah para orang tua. Khususnya, para orang tua yang mempunyai anak berusia di bawah 12 tahun.
Meskipun anak usia 12 tahun ke atas, guru dan staf sekolah juga sudah di vaksin Covid-19, program vaksinasi Covid-19 bagi anak di bawah 12 tahun hingga saat ini masih belum ada. Oleh karena itu, anak-anak di bawah usia tersebut menimbulkan ke khawatiran untuk kembali ke sekolah.
Selain itu, meskipun ditekan untuk terus melakukan protokol kesehatan, namun peraturan tersebut masih sukar untuk dimengerti oleh anak di bawah usia 12 tahun. Oleh karena itu, prokes tersebut harus di jaga lebih ekstra mengingat belumnya anak usia tersebut menerima vaksin.
Lalu, bagi anak yang diatas 12 tahun, yang dicemaskan adalah aktivitas di luar sekolah. Misalnya seperti aktivitas berkumpul bersama teman usai pulang sekolah.
“Mungkin sekolah-sekolah tertentu mudah terkontrol anaknya jika antar jemput,namun beberapa sekolah kan tidak ada fasilitas tersebut. Oleh karena itu, ditakutkan, tanpa pantauan pihak sekolah dan orang tua mereka bermain setelah pulang sekolah,” tambahnya.
Beberapa orang tua juga tidak punya waktu dan juga punya kendaraan sendiri yang bisa antar jemput. Maka dengan begitu, beberapa anak harus pulang dengan kendaraan umum yang kesempatan untuk berkumpul lebih besar.
Untuk mental sendiri, menurut Roesdiana anak pasti sangatlah siap mengingat akan bahagianya kembali ke sekolah. Akan tetapi, mental yang perlu disiapkan adalah kesiapan para anak untuk melakukan protokol kesehatan yang ada.
Selama ini anak-anak terus melakukan belajar daring dari rumah, maka mereka tidak menggunakan masker dan juga beberapa protokol kesehatan mencegah Covid-19. Oleh karena itu, anak pasti akan asing dengan melakukan kebijakan tersebut.
Maka dari itu, untuk mengatasi mengelola kecemasan tersebut tergantung pada karakter anak dan karakter sekolah itu sendiri. Sekolah juga harus melihat karakter anak, apakah harus melakukan pembiasaan diri untuk kembali bersosialisi ke sekolah. Dengan begitu, anak tidak akan alami kaget saat kembali tatap muka ke sekolah.
Mengajarkan anak membiasakan diri menerapkan protokol kesehatan adalah tantantangan saat ini untuk menyiapkan sekolah tatap muka. Oleh karena itu haruslah dipikirkan bagaimana caranya gara anak tidak bermain dan berkumpul usai sekolah.
Dengan kembalinya sekolah tatap muka, mayoritas anak akan berpikir jika kehidupan di sekolah sudah kembali seperti dulu. Padahal meskipun kambali ke sekolah, aktivitas yang dilakukan belum bisa seperti dulu. Anak belum bisa bermain, makan di kantin dan sebagainya. Dengan kata lain, sekolah belum bisa sesuai espetasi anak.
“Anak umur di bawah 12 belum bisa berpikir sebab dan akibat, mereka harus ada contoh nyata yah harus rill. Jadi alangkah baiknya kalau bisa sekolah punya secara online ada turnya tentang apa yang harus dilakukan jika nanti kembali sekolah tatap muka. Ha itu supaya mereka ada banyangan nyata, ini boleh, itu tidak boleh. Jadi meskipun kembali ke sekolah, mereka tidak akan berpikir jika ini akan kembali seperti dulu,” papar Psikolog Anak dan Keluarga.
Dia juga membeberkan jika sebenarnya anak adalah makhluk yang adaptif, bahkan jauh lebih adaptif dari orang dewasa. Jadi yang penting, selama beberapa kebijakan tersebut dilakukan secara konsisten anak akan terbisa.
Buktinya, menurutnya selama satu tahun ini anak sekolah online mereka baik-baik saja. Jadi jangan hari ini boleh besok jangan, harus konsisten.
“Yang harus dipikirkan sekali adalah apakah semuanya sudah vaksin, apakah ada pemeriksaan antigen berkala. Kita juga bisa pelajari juga dari negara tetangga yang sudah mulai sekolah tatap muka, cara yang efektif yang mana, yang tidak efektif mana. Jadi bisa di pelajari dan di adaptasi,” tutupnya.
Dikutip dari bisnis.com, Senin (30/8/2021) pembelajaran tatap muka terbatas sendiri dimulai pada hari ini dan ditargetkan berlanjut hingga Desember 2021. Kepala Bagian Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taga Radja menuturkan pihaknya belum menerima laporan pelanggaran terkait protokol kesehatan di sejumlah sekolah yang melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas tersebut
“Mulai anak masuk sekolah, cuci tangan, datang ke kelas ada jaga jarak 1,5 meter, sampai waktu pulang dari sekolah protokol kesehatan dijaga ketat,” kata Taga saat meninjau pembelajaran tatap muka di SDN Cakung 15, Senin (30/8/2021).
Taga menuturkan guru-guru juga terlihat bertanggungjawab untuk menegakkan protokol kesehatan di lingkungan sekolah mereka masing-masing.
Satu sisi orang tua masih dilema melapas anak ke sekolah, namun satu sisi juga memberatkan orang tua dan juga mental anak.
Bahkan, beberapa anak alami stres selama pembelajaran daring di era pandemi.
Hal itu terkait dengan tugas yang dikeluhkan lebih banyak selama belajar online.
Menanggapi hal ini, Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji menyatakan jika pendidikan daring di era pandemi digambarkan seperti rice cooker yang dimasak di atas kompor. Menurutnya, dasarnya para guru di Indonesia itu tidak paham bagaimana pedagogi digital. Para tenaga pengajart hanya tahu pedagogi yang tradisional yaitu cara mengajar di depan kelas. Dan memasuki kelas dari ini, tentu mereka harus melakukan cara pengajaran yang berbeda.
“Nasi bisa di masaknya pakai rice cooker dan juga bisa pakai dandang. Namun jika masak nasi pakai rice cooker lalu rice cooke di taruh di atas kompor sampai kapanpun tidak akan matang nasinya,” ungkap Indra pada Bisnis.
Menurut Indra pembelajaran tatap muka bukanlah satu-satunya model pembelajaran yang terbaik.
Padahal keefektifan sekolah daring sudah ada kajian akademisnya sejak lama. Di harvard pada Tahun 2014 sudah membuat kajian tentang efektifitas sekolah virtual. Mereka membandingkan sekolah tatap muka dan virtual. Hasilnya, menunjukan jika pembeljaran lebih efektif secara online.
Yang menjadi tantangan saat ini adalah , pola pikir yang tidak bertumbuh. Menurutnya saat ini eranya saat ini sudah berbeda dan kembali di masa lampu sebelum adanya pandemi.
“Dunia sudah berubah. Kenapa harus kembali ke era jaman dulu. Padas ebuah peneliat mengatakan jika anak Indonesia siap menghadapi abad ke-21, namun begitu pandemi dan era digital muncul, tapi pendidikan indonesia masih sangat jadul,” tandasnya.