Bisnis.com, JAKARTA - Baru-baru ini seorang pria warga Pinrang, Sulwaesi Selatan mendadak viral, setelah dirinya mengaku divaksin 16 kali. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi permintaan joki vaksin.
Pria bernama Abdul Rahim ini mengaku, dua diantaranya merupakan vaksinasi wajib untuk dirinya sendiri, sementara sisanya untuk orang-orang yang sudah membayarnya. Dia juga mengaku bahwa dirinya mendapatkan dua jenis vaksin yang berbeda, yaitu Sinovac dan Astrazeneca.
Berdasarkan cerita Abdul, dia menyebut nominal dalam rentang Rp100.000 hingga Rp 800.000 untuk satu kali suntik.
Mendapatkan vaksin sebanyak itu, lantas apa efeknya terhadap tubuh?
Dokter spesialis penyakit dalam RA Adaninggar, mengatakan secara imunologi, vaksin booster berapa kalipun tidak berbahaya.
"Karena prinsip booster hanya memicu peningkatan antibodi saja," kata Ning saat dihubungi Bisnis, Rabu (22/12/2021).
Selain mengaku divaksin 16 kali, Abdul juga mengaku bahwa dirinya sudah 3 bulan menjalankan aksinya ini. Padahal, setiap jenis vaksin memiliki jeda waktu yang berbeda untuk penyuntikan dosis kedua. Misalnya pada Sinovac, interval pemberian antar dosis adalah 28 hari, sedangkan Astrazeneca adalah 12 minggu.
Menanggapi hal ini, Ning mengatakan bahwa tidak tahu pasti dampaknya karena tidak pernah ada penelitian dengan interval orang seperti ini.
"Kalau diteliti ya bisa saja, memang ngga ada bahayanya. Tapi karena tidak pernah diteliti, jadi ya ngga tahu," katanya.
Sementara itu, ahli patologi klinis UNS Tonang Dwi Ardyanto dalam akun facebooknya mengatakan suntik hingga 16 kali itu baru sebatas pengakuan.
"Kita perlu data lebih valid nggih. Mengingat dalam proses vaksinasi, ada tahapan skrinning data maupun skrinning kondisi pasien. Tentu menjadi pertanyaan bila sampai bisa 16 kali, bahkan katanya pernah 3 kali dalam sehari. Itu dulu yang perlu kita pastikan bila hendak dikomentari," paparnya.
Tapi seandainya benar terjadi, apa dampaknya? Menurutnya, dalam laporan-laporan ilmiah, belum ada yang membahas bagaimana bila terjadi pemberian vaksinasi melebihi dosis. Dari uji klinis, yang dicari adalah dosis optimal. Yaitu dosis yang mampu memicu antibodi, tetapi sekaligus dengan risiko efek samping dan efek simpang yang minimal. Secara teori, dosis yang semakin tinggi, semakin kuat memicu respon antibodi, tapi juga semakin tinggi risiko terjadi efek tidak diinginkan.
Maka dalam uji klinik, sudah didahului oleh uji pra-klinik di hewan. Jika sudah diketahui rentang dosis yang masih aman, baru kemudian diujikan pada manusia. Selanjutnya dalam tahap uji klinik 1, diuji dulu hasil dari hewan tadi, untuk mencari dosis yang optimal dari dasar uji pada hewan (dan tentu saja pengetahuan sebelumnya tentang obat dan vaksin sejenis).
"Sisi yang penting dalam hal penyelenggaran vaksinasi, proses skrinning harus dijalankan benar-benar agar risiko terjadi duplikasi menjadi minimal. Sisi masyarakat, apapun yang namanya obat, menjadi berisiko bila berlebihan. Sudah ada takarannya, sudah diuji klinik, mari dijalani dengan baik," tambahnya.