Bisnis.com, JAKARTA - Budaya paternalistik yang ada di dunia, dan Indonesia, membuat perempuan dianggap kurang tepat untuk menjadi pemimpin tertinggi dalam satu organisasi atau perusahaan.
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita menyatakan, selain masih kentalnya budaya kepemimpinan paternalistik, masalah stereotip juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam menggapai impiannya menjadi pemimpin di suatu perusahaan.
Perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri, sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Lalu, perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi. Perempuan juga sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga ketimbang bekerja.
Kemudian, lanjut Maya, perempuan dihadapkan konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan. Apalagi di saat pandemi covid-19, hal itu semakin berat. Karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.
Perempuan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama. Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya.
Dia mengaku, sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, dia menegaskan, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan. Salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.
"Kalau kita bicara isu perempuan, masih di bawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.
Sementara itu, Chief Marketing Officer Investree, Astranivari bilang, kebijakan tertulis untuk perempuan seperti kesempatan cuti pemeriksaan kehamilan hingga melahirkan diterapkan di Investree. Kemudian juga bagi sang suami, diberikan cuti mendampingi melahirkan istrinya hingga cuti menikah.
Tapi di luar aturan tertulis tersebut, kesempatan kerja terbuka lebar bagi seluruh karyawan tanpa memandang gender. Mulai dari proses rekrutmen karyawan, tanggung jawab pekerjaan, maupun kesempatan promosi atau naik jabatan.
"Hal-hal itu kita berikan atau berlaku sama untuk perempuan ataupun laki-laki," kata Astranivari.
Dia mengatakan, Investree memimalisir terjadinya ketimpangan dalam proses bisnis. Ia mencontohkan, jika terdapat karyawan menjalankan tugas ke luar kota, atasan dan anak buah harus terdapat perempuan dan laki-laki. Bila atasannya perempuan, maka anak buahnya laki-laki, begitu pun sebaliknya.
Dari sisi rekrutmen, dia mengaku bahwa masih lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan, perbandingannya 60-70 persen. Tapi hal itu tidak membuat kesempatan bagi perempuan menjadi pemimpin perusahaan tertutup.
"Dari sisi pemilihan leadership, misalnya untuk menjadi unit leader atau mengisi promosi posisi tertentu, kita memberikan kesempatan yang sama untuk setiap orang yang memang punya kompetensi untuk menempati jabatan tersebut. Investree memberikan keleluasaan semacam itu," pungkasnya.
Relationship
Beragam Kendala Perempuan di Dunia Karir
Penulis : Mia Chitra Dinisari
Editor : Mia Chitra Dinisari