Bisnis.com, JAKARTA – Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan kebijakan cukai hasil tembakau yang tepat dan ideal menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat yang optimal.
Bahkan, pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif.
“Dari sisi kesehatan masyarakat, masalah tembakau merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling rumit,” ujarnya lewat rilisnya, Senin (6/6/2022).
Hasbullah melanjutkan, kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia belum efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai.
“Perokok paling besar di usia 15-19 tahun padahal ini yang diharapkan menjadi generasi emas pada 2045. Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas,” tuturnya.
Dia menjelaskan, hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarat dapat beralih ke rokok yang lebih murah,” katanya.
Oleh sebab itu, untu melindungi anak dan remaja dari rokok agar tercipta sumber daya manusia (SDM) unggul, lanjut Hasbullah, salah satu intervensi paling efektif adalah intervensi harga melalui kebijakan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai.
“Simplifikasi struktur cukai akan menjadi hal yang cukup efektif untuk membuat harga rokok tidak murah dan tidak membuat pilihan harga rokok yang beragam karena banyaknya golongan pada tiap jenis rokok,” katanya.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri juga mengatakan, kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia tidak menurunkan tren perokok.
“Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia itu paling tinggi di dunia dan kita boleh dikatakan gagal dalam mewujudkan visi SDM Unggul Indonesia Maju. Oleh karena itu, kita menggugat kebijakan cukainya yang masih banyak loopholes-nya,” ujarnya.
Faisal mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai yang dilakukan pemerintah tahun ini dari 10 layer menjadi 8 layer belum efektif.
“Delapan layer itu masih sangat banyak dan cenderung tidak efektif karena masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai,” katanya.
Faisal juga mempertanyakan batasan golongan produksi sebesar tiga miliar batang.
“Batasan produksi sampai 3 miliar juga apa urusannya jika dikaitkan dengan kesehatan?” katanya.
Justru, lanjutnya, batasan produksi 3 miliar batang itu memicu perusahaan asing tidak mau naik kelas dengan membatasi produksinya. “Penggolongan harusnya membantu UKM, bukan menolong perusahaan asing sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi,” katanya.