Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan kepada Kementerian PUPR agar dalam melakukan pembangunan infrastruktur di Tanah Air harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup satwa liar.
Hal ini disampaikannya setelah melihat perlintasan gajah di KM 12 ruas tol Pekanbaru-Dumai, pada Kamis (5/1/2023).
“Dalam pembangunan infrastruktur di Tanah Air saya juga mengingatkan tentang pentingnya juga memperhatikan lingkungan seperti yang kita bangun jalan Tol Pekanbaru-Dumai ini dengan ada terowongan untuk lintasan gajah sebanyak 6 tempat,” ujarnya dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (5/1/2023).
Tidak hanya itu, Kepala Negara pun meminta agar setiap pembangunan infrastruktur jalan tidak mengganggu kehidupan satwa, khususnya hewan yang dilindungi seperti Harimau.
“Dan [infrastruktur Tol] ini tidak mengganggu perlintasan gajah yang ada. Di tempat lain. Misalnya, harus melintasi [kawasan bernaung] harimau, maka harus ada terowongan untuk menjaga agar lintasan hewan-hewan liar itu juga bisa berjalan dengan apa adanya. Lintasan harimau, lintasan banteng, di beberapa tempat memang harus dibangun terowongan untuk hewan yang dilindungi,” tuturnya.
Hal ini dia tegaskan agar tidak hanya diterapkan di Riau, tetapi upaya pelestarian tersebut juga harus dilakukan di tempat lain agar pembangunan infrastruktur tidak mengganggu kelestarian satwa liar.
“Saya kira beberapa tempat memang kita membangun terowongan-terowongan, lintasan untuk hewan-hewan yang dilindungi tersebut,” imbuhnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau Genman S. Hasibuan juga menambahkan bahwa terowongan gajah ini merupakan langkah adaptasi atas pembangunan ruas jalan tol Pekanbaru-Dumai yang telah membelah habitat gajah di dua kota dan dua kabupaten dengan total populasi gajah sebanyak 76 ekor.
“Sebagai adaptasi dari pembangunan jalan tol ini terhadap keberadaan gajah di lokasi ini, maka kami dari Balai Besar KSDA Riau bekerja sama bersama Hutama Karya untuk membuat terowongan gajah sehingga gajah itu pergerakannya tidak terganggu,” ungkapnya.
Sekadar informasi, pulau Sumatra memang kaya akan beragam satwa endemik yang turut bertugas menjaga kestabilan ekosistem. Sayangnya, lantaran memiliki ciri fisik unik dan menarik menyebabkan mereka seringkali menjadi sasaran empuk perburuan.
Beberapa hewan endemik Sumatra seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang merupakan spesies harimau asli yang masih bertahan hidup hingga saat ini. Hewan ini memiliki ciri ukuran tubuh paling kecil dibanding jenis harimau lainnya dengan warna paling gelap di antara semua spesiesnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) populasi liar Raja Hutan dari Sumatra ini diperkirakan hanya tersisa 210 ekor dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered).
Selain itu, Orangutan Sumatra (Pongo abelii) juga menjadi spesies orangutan terlangka, sebab diperkirakan hanya ada sekitar 14.613 ekor Oangutan Sumatera. Jumlah yang sedikit mengingat wilayah Pulau Sumatera yang luas. Untuk diketahui, Orangutan Sumatera hanya memiliki tinggi sekitar 4,6 kaki dengan berat 200 pon, sedangkan orangutan betina berukuran lebih kecil yakni dengan tinggi sekitar 3 kaki dan berat 100 pon.
Kemudian, Gajah Sumatra (Elephas Maximus) merupakan hewan endemik Sumatra yang dilindungi. Hewan ini ditangkarkan di Way Kambas Lampung, Taman Nasional Gunung Leuser Aceh, dan Tangkahan Langkat. Kawasan pemeliharaan gajah atau Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan telah diprogramkan sejak 2002 dan mulai dioperasikan pada tahun 2007. Pada CRU Tangkahan terdapat 8 ekor gajah dirawat oleh perawat gajah atau Mahot.
Hewan khas Sumatra di atas merupakan hewan yang dilindungi. Tingginya perburuan menyebabkan jumlah mereka semakin terbatas. Padahal, keseimbangan antara fauna dan flora penting dalam menjaga ekosistem.
Kondisi populasi gajah sumatera pada 2007 teridentifikasi sebanyak 2800-4800 ekor, dan data terakhir pada 2021 populasi gajah sumatera tersisa sebanyak 924—1359 ekor.