Sastrawan Sapardi Djoko Damono. Bisnis
Relationship

Ada Sapardi Djoko Damono di Google Doodle Hari Ini, Cek 10 Puisi Sang Pujangga Indonesia

Sabina Arla Yogandini
Senin, 20 Maret 2023 - 17:24
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Ada hal yang berbeda dari tampilan Google hari ini. Google menampilkan sosok Sapardi Djoko Damono, Sang Pujangga Indonesia menjadi Google Doodle hari ini yang bertepatan dengan hari lahirnya, yaitu 20 Maret. 

Dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Sapardi Djoko Damono terkenal sebagai penyair. Di samping itu, Sapardi juga terkenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra.

Adapun penghargaan yang berhasil diraih oleh Sapardi Djoko Damono antara lain Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), Akademi Jakarta (Indonesia, 2012), Habibie Award (Indonesia, 2016), dan ASEAN Book Award (2018). 

Untuk mengenang kembali karya Sapardi, berikut adalah kumpulan puisi karya seorang Sapardi Djoko Damono:

1. Sementara Kita Saling Berbisik (1966)


sementara kita saling berbisik

untuk tinggal lebih lama lagi

pada debu, cinta yang tinggal berupa

bunga kertas dan lintasan angka-angka


ketika kita saling berbisik

di luar semakin sengit malam hari

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, 

menyekap sisa-sisa unggun api

sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi

2. Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni


Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu


Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni


Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu


Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni


Dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu


3. Aku Ingin (1989)


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


4. Yang Fana Adalah Waktu (1989)


Yang fana adalah waktu.

Kita abadi memungut detik demi detik,

merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi.

5. Pada Suatu Hari Nanti


Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.


Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,


Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

6. Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.


Jangan sekali

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.


7. Kenangan


Ia meletakkan kenangannya

dengan sangat hati-hati

di laci meja dan menguncinya

memasukkan anak kunci ke saku celana

sebelum berangkat ke sebuah kota

yang sudah sangat lama hapus

dari peta yang pernah digambarnya

pada suatu musim layang-layang


Tak didengarnya lagi

suara air mulai mendidih

di laci yang rapat terkunci.


Ia telah meletakkan hidupnya

di antara tanda petik


8. Kita Saksikan (1967)


kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu itu cuaca pun senyap seketika

sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

 

di antara hari buruk dan dunia maya

kita pun kembali mengenalnya

kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata

saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia


9. Akulah Si Telaga (1982)


akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil


berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja


10. Sajak Tafsir


Kau bilang aku burung?

Jangan sekali-kali berkhianat

kepada sungai, ladang, dan batu


Aku selembar daun terakhir

yang mencoba bertahan di ranting

yang membenci angin


Aku tidak suka membayangkan

keindahan kelebat diriku

yang memimpikan tanah

tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku

ke dalam bahasa abu


Tolong tafsirkan aku

sebagai daun terakhir

agar suara angin yang meninabobokan

ranting itu padam


Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk bisa lebih lama bersamamu


Tolong ciptakan makna bagiku

apa saja — aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman:
  1. 1
  2. 2
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro