Bisnis.com, JAKARTA – Polusi udara partikulat halus (PM2.5) di udara ambien global bertanggung jawab atas jutaan kematian dini setiap tahunnya serta penurunan usia harapan hidup selama 1 tahun.
Hal ini menjadi alasan polusi udara lebih berbahaya bagi kesehatan rata-rata orang di bumi dibandingkan merokok atau alkohol.
Mengutip laman Japan Today, Senin (4/9/2023), laporan tahunan Air Quality Life Index (AQLI) menunjukkan bahwa polusi udara partikulat halus yang berasal dari emisi kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan lainnya masih menjadi ancaman eksternal terbesar bagi kesehatan masyarakat.
Partikel halus ini berkaitan dengan penyakit paru-paru, penyakit jantung, stroke dan kanker.
Adapun paparan populasi global terhadap PM2.5 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk yang tinggi dan konsentrasi PM2.5 yang tinggi, terutama di Asia Selatan dan Asia Timur.
Hampir setengah (47%) dari kematian global yang disebabkan oleh PM2.5 saat ini disebabkan oleh sumber-sumber paparan polusi udara seperti pembakaran bahan bakar fosil dan bahan bakar nabati padat, yang dapat dimitigasi.
Sebagai perbandingan, penggunaan tembakau mengurangi harapan hidup global sebesar 2,2 tahun, sementara malnutrisi pada anak dan ibu bertanggung jawab atas pengurangan 1,6 tahun.
Negara-negara berpenghasilan tinggi di Eropa dan Amerika Utara telah mengatur emisi dari sumber polusi udara utama selama beberapa dekade. Tingkat PM2.5 ambien di AS dan Kanada, misalnya, telah menurun 64% dari tahun 1981 hingga 2016.
Peningkatan paparan polusi udara di Asia
Sementara itu, paparan PM2.5 memburuk di Asia setelah industrialisasi dan urbanisasi yang cepat, seperti yang disimpulkan oleh pengamatan satelit. Peningkatan paparan PM2.5 dan pertumbuhan populasi yang cepat di Asia telah menyebabkan peningkatan beban kesehatan terkait PM2.5 secara global setidaknya selama tahun 1990-2010.
Sejak awal tahun 2010-an, Cina menerapkan langkah-langkah ketat untuk mengurangi polusi udara yang parah, sehingga berhasil mengurangi PM2.5 tertimbang populasi (PW) yang substansial (lebih dari 15 μg/m3 dalam waktu 8 tahun) sebagaimana ditentukan oleh pemantauan lapangan nasional, estimasi yang berasal dari satelit, dan pemodelan kualitas udara.
Manfaat kesehatan nasional yang diakibatkannya (misalnya, pengurangan 0,4 juta kematian tahunan yang dapat diatribusikan) sangat besar.
Selain itu, bukti-bukti menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PM2.5 dan total beban aerosol melambat di wilayah-wilayah utama lainnya termasuk India, Afrika Utara, Timur Tengah, Afrika Tengah, dan Amazon. Ada kebutuhan untuk menafsirkan secara komprehensif, dalam konteks global, bagaimana perubahan regional ini memengaruhi polusi udara PM2.5 global dan dampak kesehatannya.
Melansir laman Nature Communications, Senin (4/9/2023), sebuah penelitian menghitung bagaimana polusi udara PW PM2.5 dan beban kesehatan telah berubah selama tahun 1998-2019, baik secara global maupun di 13 wilayah, dengan kuantifikasi kontribusi regional terhadap perubahan paparan global.
Penelitian tersebut menggunakan kombinasi data PM2.5 global beresolusi tinggi (0,01 °, sekitar 1 km2) yang berasal dari satelit, data kematian berdasarkan wilayah, usia, dan penyakit, serta model respons konsentrasi yang menghubungkan konsentrasi PM2.5 di luar ruangan dengan dampak kesehatan yang merugikan.
Dalam penelitian tersebut disajikan analisis komprehensif yang mengungkapkan pembalikan tren global PW PM2.5 secara tepat waktu, yang sebagian besar didorong oleh penurunan di China dan didukung oleh upaya mitigasi di berbagai wilayah. Tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas udara global yang berkelanjutan serta pengurangan beban kesehatan terkait. (Kresensia Kinanti)