Bisnis.com, JAKARTA - Berdasarkan data Globocan tahun 2020, total kasus baru kanker di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus.
Adapun kasus kanker tertinggi kanker payudara sebanyak 16,6%, kanker leher rahim atau kanker serviks sebanyak 9,2% dan kanker paru 8,8%.
Ketiga jenis kanker ini memiliki angka kematian tinggi, yang umumnya dipengaruhi juga karena diagnosis penyakit yang terlambat atau tertundanya pengobatan.
Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri ke dokter masih sangat rendah. Sehingga umumnya kebanyakan pasien datang ke rumah sakit ketika sudah memasuki stadium lanjut.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, sepanjang 2019 sampai 2021
terdapat 2.827.177 perempuan usia 30-50 tahun yang telah menjalani dua jenis deteksi dini kanker tersebut.
Jumlah ini baru mencapai 6,83% dari sasaran nasional. Rendahnya cakupan
ini mungkin berhubungan dengan kurangnya kesadaran masyarakat terkait pentingnya deteksi dini sebelum penyakit berkembang.
Deteksi dini merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan angka kesembuhan yang tinggi, pembiayaan yang lebih murah dan angka
harapan hidup yang tinggi. m
Deteksi dini kanker leher rahim dapat dilakukan melalui metode Inspeksi Visual
Asam Asetat (IVA) atau pap smear. Sedangkan deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan metode Periksa Payudara Klinis (SADANIS), atau mammografi pada post menopause atau USG payudara pada premenopause.
Mirisnya lagi, beberapa kanker di Indonesia yang terjadi pada rata rata usia lebih muda serta lebih agresif. Angka kekambuhan, perburukan, dan kematian kanker di Indonesia memperlihatkan angka yang lebih tinggi dibanding data regional maupun global.
Baca Juga Kanker Payudara Hingga Penyakit Jantung Melonjak, Simak Saran untuk Asuransi Penyakit Kritis |
---|
Hal ini juga terkait dengan pelayanan kanker di Indonesia yang masih lebar “the care gap” antar wilayah di Indonesia, bahkan antar rumah sakit (RS) dalam satu kota.
Beberapa hal menunjukkan terkait dengan:
1. Pemahaman dan kesadaran masyarakat sendiri untuk menjalankan deteksi dini kanker
2. Ketimpangan jumlah fasilitas penanganan kanker di berbagai daerah dan RS.
3. Terbatasnya jumlah tenaga medis khusus kanker dan penyebarannya yang tidak merata
4. Belum adanya tim multidisiplin kanker yang baik (MDT)
5. Obat kanker terbaru banyak yang belum masuk ke dalam program JKN agar mudah dijangkau masyarakat luas.
6. Beberapa obat yang telah terdaftar dalam formularium nasional direstriksi hanya untuk kasus kanker tertentu saja. Misal oksaliplatin hanya untuk kanker usus besar, padahal obat ini juga dapat digunakan untuk kanker lain (misalnya kanker pankreas, lambung, getah bening, dll)
Berbagai hal diatas akan berujung pada “delay of diagnosis” yang secara langsung berdampak pada “terlambat” datangnya pasien ke pusat perawatan kanker, sehingga sekitar 60-65% pasien yang datang telah ada pada stadium lokal lanjut /lanjut (stadium III/IV).
Pasien kanker yang sudah hadir di rumah sakitpun, kerap mengalami “delay of treatment” dikarenakan jumlah pasien yang melebihi kapasitas fasilitas ruang rawat, antrian diagnostik ataupun obat obatan yang terbatas peruntukkannya (restriksi)
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), melakukan kegiatan pelayanan diagnosis dan tatalaksana bagi pasien kanker. Kanker ‘by nature’ adalah “the ultimate disease” yang kompleks, heterogen, dan bervariasi dalam perjalanan penyakitnya
Salah satu prasyarat penanganan kanker yang optimal adalah kanker memerlukan pendekatan holistic yang melibatkan tim multi disiplin (MDT) seperti halnya onkologi medik dan hematologi, bedah onkologi, THT, bedah digestif, onkologi kebidanan, radioterapi, radiodiagnostik, patologi klinik, patologi anatomi, dan spesialisasi lain yang
terkait.
Tema WCD (world cancer day) 2024 adalah, “close the care gap” dapat dijadikan momentum akslerasi perbaikan pelayanan kanker di Indonesia. Close the Care Gap menekankan pentingnya menutup kesenjangan dalam penanganan kesehatan, khususnya
kanker.
"Jadi memang kesadarannya ini yang harus ditingkatkan. Karena krang harus tahu, penyembuhan kanker di stadium awal tingkat kesembuhannya sangat tinggi. Dan inilah bagian peran dari POI untuk melaksanakan peran hal tersebut” kata Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Dr dr Cosphiadi Irawan Sp.PD, KHOM.
Dia memaparkan beberapa faktor kurangnya kesadaran masyarakat dalam memeriksakan kanker adalah sebagai berikut
a. Faktor pasien seperti pendapatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan, lokasi
tempat tinggal dan kondisi geografis
b. Faktor pelayanan kesehatan seperti ketersediaan, ataupun fasilitas yang tidak lengkap, dan kurangnya ketersediaan tenaga medis ahli kanker berkualitas
c. Faktor masyarakat, misalnya adanya stigma negatif terhadap pasien kanker
d. Faktor kebijakan nasional, misalnya obat-obat kanker baru yang belum masuk ke dalam pembiayaan asuransi nasional.
POI dapat berperan sebagai mitra utama pemerintah dalam pelayanan kanker dengan:
a. Melakukan koordinasi dari berbagai cabang ilmu pelayanan kanker untuk
memberikan pelayanan yang multidisiplin, terintegrasi dan holistik.
b. Menjadi mitra pendukung pemerintah tentang mewujudkan layanan kanker yang berkualitas, layanan yang benar, efektif, dan efisien, sehingga anggaran terbatas yang ada akan lebih tepat sasaran, guna meningkatkan keselamatan pasien, terlebih terkait
khususnya precision medicine yang berbiaya mahal.
c. Melakukan upaya Cancer Registry dalam suatu populasi/rumah sakit untuk
menghasilkan statistik keadaan kanker di suatu populasi/rumah sakit, yang dapat
menghasilkan kerangka kerja bagi penanggulangan kanker.
d. Menyusun pedoman pengobatan dengan dukungan berbagai dokter yang terhimpun didalamnya, diharapkan menghasilkan produk pedoman layanan kanker yang lebih komprehensif dan efektif, efisien, dan tidak lagi bermoto “one size fits all”