Gedung-gedung di sekitaran Jalan Gatot Subroto, Jakarta diselimuti polusi udara pada Selasa (22/8/2023). Jakarta dengan populasi lebih dari 10 juta orang menjadi kota dengan tingkat polusi udara yang tidak sehat dalam beberapa pekan terakhir. - Bloomberg/Muhammad Fadli
Health

Hanya 7 Negara yang Penuhi Standar Kualitas Udara WHO, Apa Indonesia Masuk?

Mutiara Nabila
Kamis, 21 Maret 2024 - 08:01
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Hanya ada 7 negara di dunia yang memenuhi standar kualitas udara internasional, dengan polusi udara yang mematikan di beberapa tempat semakin memburuk akibat pulihnya aktivitas ekonomi dan dampak racun dari asap kebakaran hutan, demikian temuan sebuah laporan baru.

Dilansir dari The Guardian, Kamis (21/3/2024), dari 134 negara dan wilayah yang disurvei, hanya 7 negara, yakni Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru, yang memenuhi batasan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk partikel kecil di udara yang dikeluarkan oleh mobil, truk, dan industri.

Menurut laporan IQAir, sebagian besar negara gagal memenuhi standar PM2.5 ini, sejenis debu mikroskopis yang berukuran kurang dari lebar rambut manusia, yang jika terhirup dapat menyebabkan banyak sekali masalah kesehatan dan kematian, serta menimbulkan dampak serius bagi manusia.  

Meskipun udara dunia secara umum jauh lebih bersih dibandingkan abad-abad yang lalu, masih ada tempat-tempat yang tingkat polusinya sangat berbahaya. 

Negara yang paling berpolusi, Pakistan, memiliki tingkat PM2.5 14 kali lebih tinggi dibandingkan standar WHO, menurut laporan IQAir. Selain itu India, Tajikistan, dan Burkina Faso merupakan negara yang memiliki polusi udara tertinggi.

Namun bahkan di negara-negara kaya dan berkembang pesat, belum mampu mengurangi polusi udara. Kanada misalnya, yang sudah lama dianggap sebagai salah satu negara dengan udara terbersih di dunia barat, menjadi negara dengan jumlah PM2.5 terburuk pada tahun lalu karena rekor kebakaran hutan yang melanda negara tersebut. Hal itu menyebabkan gas beracun menyebar ke seluruh negeri dan ke Amerika Serikat.

Sementara itu, di China, peningkatan kualitas udara menjadi makin sulit, terutama tahun lalu setelah kembali pulihnya aktivitas ekonomi pasca pandemi Covid-19, dengan laporan tersebut menemukan peningkatan tingkat PM2.5 sebesar 6,5%.

“Sayangnya segala upaya peningkatan kualitas udara telah berjalan mundur. Semua orang sudah tahu mengenai dampak polusi udara, namun kita terbiasa hidup dengan tingkat polusi yang terlalu tinggi untuk menjadi sehat, sehigga tidak melakukan penyesuaian dengan cukup cepat,” kata Glory Dolphin Hammes, kepala eksekutif IQAir Amerika Utara. 

Polusi udara diperkirakan membunuh 7 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia, lebih banyak dibandingkan angka kematian akibat AIDS dan malaria. Adapun, beban ini paling berat dirasakan di negara-negara berkembang yang bergantung pada bahan bakar kotor untuk pemanasan, penerangan, dan memasak di dalam ruangan.

Daerah perkotaan yang paling berpolusi di dunia tahun lalu adalah Begusarai di India, menurut laporan tahunan IQAir yang keenam. Selain itu, India juga merupakan salah satu dari empat negara paling berpolusi di dunia.  

Namun, sebagian besar negara berkembang, khususnya negara-negara di Afrika, tidak memiliki pengukuran kualitas udara yang dapat diandalkan.

WHO menurunkan pedoman tingkat PM2.5 yang “aman” pada 2021 menjadi lima mikrogram per meter kubik dan dengan pedoman ini, banyak negara seperti negara-negara di Eropa yang telah melakukan pembersihan udara secara signifikan dalam 20 tahun terakhir, gagal memenuhi persyaratan.

Namun pedoman yang lebih ketat ini mungkin tidak sepenuhnya mencakup risiko polusi udara yang berbahaya.  Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh para ilmuwan AS pada awal 2024 menemukan bahwa tidak ada tingkat PM2.5 yang aman, bahkan paparan terkecil pun dikaitkan dengan peningkatan rawat inap karena kondisi seperti penyakit jantung dan asma.

Hammes mengatakan bahwa negara-negara harus bertindak untuk menjadikan kota mereka lebih nyaman untuk dilalui dengan berjalan kaki dan tidak terlalu bergantung pada mobil. 

Negara-negara dengan polusi tinggi juga perlu mengubah praktik kehutanan untuk membantu mengurangi dampak asap kebakaran hutan, dan bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil.  

Aidan Farrow, ilmuwan senior kualitas udara di Greenpeace International, mengatakan pemantauan kualitas udara yang lebih baik juga diperlukan.

“Pada 2023 polusi udara masih menjadi bencana kesehatan global, kumpulan data global IQAir memberikan peringatan penting akan perlunya menerapkan banyak solusi untuk masalah udara ini,” katanya.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro