Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah penelitian mengungkapkan molekul migrain dapat mendorong nyeri endometriosis.
Migrain dan endometriosis menunjukkan beberapa kesamaan dalam ciri klinis dan epidemiologisnya yang mungkin disebabkan oleh pengaruh hormon seksual wanita pada kedua kelainan tersebut.
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa keduanya merupakan kelainan komorbid. Akan tetapi, sifat komorbiditasnya tidak diketahui secara pasti, tetapi penjelasan yang mungkin adalah gen kerentanan yang sama.
Kemungkinan lain adalah, karena keduanya terkait dengan nyeri, peningkatan kepekaan nyeri yang disebabkan oleh salah satu kelainan dapat menyebabkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengembangkan kelainan lainnya, yang mungkin dimediasi oleh nitrogen oksida atau prostaglandin.
Kaitan umum dengan penggunaan estroprogestin yang meluas mungkin tampak kurang mungkin. Bagi dokter yang menangani wanita dengan salah satu kelainan ini, kesadaran akan komorbiditas dapat membantu dalam perawatan pasien.
Para ilmuwan telah mengidentifikasi sel-sel yang dapat berkontribusi pada rasa sakit yang melemahkan yang terkait dengan endometriosis, kondisi di mana jaringan yang mirip dengan lapisan dalam rahim tumbuh di luar rahim, seperti di tuba falopi atau ovarium.
Penelitian terbaru, yang diterbitkan dalam jurnal Science Translational Pharmaceutical pada 6 November, menunjukkan bahwa interaksi antara neuron penginderaan rasa sakit dan makrofag, sejenis sel kekebalan, dapat memicu rasa sakit ini.
Dalam studi tersebut, peneliti menemukan bahwa obat-obatan yang sudah disetujui dapat memblokir interaksi ini, mengurangi tanda-tanda nyeri pada tikus dengan kondisi mirip endometriosis.
Hal ini menunjukkan potensi penggunaan kembali obat-obatan ini sebagai perawatan baru untuk endometriosis pada manusia.
Endometriosis mempengaruhi sekitar 10% wanita cisgender dan 25% pria transgender. Saat ini, banyak pasien mengelola rasa sakit mereka dengan obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) seperti ibuprofen, namun pilihan ini sering kali tidak efektif dan dapat menyebabkan efek samping serius.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa makrofag dalam jaringan endometrio memiliki peran penting dalam pertumbuhan lesi endometriosis.
Para peneliti menemukan bahwa peptida terkait gen calcitonin (CGRP) dan reseptor RAMP1 terlibat dalam proses ini. CGRP, yang juga terlibat dalam serangan migrain, tampaknya memicu pertumbuhan sel endometrium di dekatnya. Dengan menggunakan tikus
yang dimodifikasi secara genetik untuk tidak memiliki neuron pemindera rasa sakit tertentu, peneliti menemukan bahwa tidak hanya rasa sakit yang hilang, tetapi ukuran lesi endometriosis juga menyusut.
Temuan ini menunjukkan bahwa aktivasi neuron nyeri dan pelepasan CGRP berkontribusi pada pertumbuhan lesi serta rasa sakit yang dialami pasien.
Tim peneliti berharap untuk mengeksplorasi lebih lanjut bagaimana makrofag mempengaruhi pertumbuhan lesi endometriosis dan bagaimana penemuan ini dapat diterapkan untuk pengobatan yang lebih aman dan efektif.
Dengan menggunakan obat-obatan seperti fremanezumab galcanedub, rimegepant, dan uldak—yang telah disetujui FDA untuk migrain—penelitian ini membuka jalan bagi alternatif perawatan baru bagi pasien endometriosis yang sering kali menghadapi pilihan pengobatan yang terbatas dan berisiko tinggi.
Mengingat bahwa keempat obat ini telah terbukti aman dalam uji klinis dan sudah disetujui FDA untuk pengobatan migrain,
mereka mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman dan lebih efektif untuk obat saat ini yang digunakan untuk nyeri
endometriosis, Fattori berteori.
Dan karena status persetujuan obat, mereka dapat digunakan pada pasien dalam jangka waktu yang lebih cepat daripada
obat baru yang memerlukan pengujian dalam uji coba panjang. (Tesalonika Loris)