Bisnis.com, JAKARTA - Tahukah Anda jika perempuan lebih sering dan lebih berisiko mengalami migrain daripada laki-laki.
Namun rasa sakit mereka sering diabaikan atau salah didiagnosis karena faktor hormonal, kesenjangan penelitian, dan bias gender dalam dunia kedokteran.
Hal ini menyebabkan keterlambatan pengobatan, memburuknya gejala, dan penurunan kualitas hidup. Perubahan mendesak diperlukan, termasuk inklusi yang setara dalam penelitian, pendidikan kedokteran yang lebih baik, dan perawatan yang dirancang khusus untuk perempuan.
Tahukah Anda sakit kepala yang berdenyut, berdenyut, dan membuat sulit berpikir jernih? Bagi jutaan perempuan, itu bukan sekadar gangguan sesekali, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dilansir dari timesofindia, faktanya, perempuan secara signifikan lebih mungkin menderita migrain dan sakit kepala berulang daripada laki-laki, seringkali dengan gejala yang lebih intens dan rasa sakit yang lebih lama.
Namun, inilah bagian yang mengejutkan: meskipun demikian, rasa sakit yang dialami perempuan sering diabaikan, salah didiagnosis, atau dianggap "hanya stres".
Gejala mereka seringkali diabaikan, suara mereka diragukan, dan penderitaan mereka diremehkan, tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh sistem perawatan kesehatan yang dirancang untuk membantu mereka.
Dari fluktuasi hormon hingga praktik penelitian medis yang ketinggalan zaman, terdapat alasan biologis, budaya, dan institusional di balik mengapa perempuan lebih sering mengalami sakit kepala dan mengapa mereka cenderung tidak dianggap serius ketika mencari pertolongan.
Salah satu faktor biologis terbesar di balik migrain perempuan adalah hormon, terutama estrogen. Fluktuasi kadar estrogen, terutama sebelum menstruasi, dapat mengganggu cara otak mengatur rasa sakit. Hal ini menjelaskan mengapa banyak perempuan mengalami migrain tepat sebelum atau selama menstruasi.
Kontrasepsi hormonal, kehamilan, perimenopause, dan menopause semuanya dapat memengaruhi frekuensi dan intensitas migrain. Bagi sebagian orang, perubahan ini memberikan kelegaan.
Bagi yang lain, perubahan ini justru memperburuk keadaan. Perempuan juga memiliki lebih banyak reseptor rasa sakit di kulit mereka dan ambang batas aktivasi rasa sakit yang lebih rendah, yang berarti mereka lebih sensitif terhadap pemicu sakit kepala seperti cahaya, stres, kurang tidur, dan bahkan makanan.
Ini bukan tentang menjadi "terlalu sensitif". Melainkan bagaimana tubuh perempuan terbentuk.
Secara historis, perempuan dikecualikan dari sebagian besar uji klinis, terutama yang melibatkan nyeri, hormon, atau kondisi neurologis. Banyak penelitian berfokus pada pria, dengan asumsi hasil tersebut berlaku untuk perempuan.
Sebuah studi penting tahun 2016 yang diterbitkan dalam The Lancet Neurology mengungkapkan bahwa migrain pada perempuan cenderung lebih melumpuhkan, lebih sering, dan berlangsung lebih lama, namun penelitian masih memperlakukan subjek laki-laki sebagai acuan. Hasilnya? Obat-obatan dan rencana perawatan dikembangkan tanpa mempertimbangkan fungsi tubuh perempuan.
Ini bukan hanya tentang kesenjangan data. Bias gender dalam kedokteran adalah masalah nyata dan terdokumentasi dengan baik. Ketika perempuan melaporkan gejala seperti sakit kepala yang terus-menerus, mereka cenderung diabaikan, salah didiagnosis, atau diberi tahu bahwa rasa sakit mereka "hanya ada di kepala mereka."
Alih-alih menerima pereda nyeri atau obat migrain yang tepat, banyak perempuan diresepkan antidepresan atau obat penenang. Di ruang gawat darurat, mereka seringkali menunggu lebih lama daripada pria untuk penanganan nyeri, meskipun mereka mengalami gejala yang sama.
Pola yang menyebabkan keterlambatan penanganan, perburukan gejala, dan konsekuensi kesehatan jangka panjang. Biaya nyata dari nyeri migrain pada wanita yang diabaikan
Migrain seringkali menyerang wanita selama puncak masa kerja mereka. Nyeri kronis dapat mengganggu karier, pengasuhan anak, dan aktivitas sehari-hari.
Merasakan nyeri saja sudah cukup berat. Namun, diabaikan atau salah diagnosis menambah lapisan stres emosional, kecemasan, dan frustrasi.
Bagi banyak perempuan, butuh waktu bertahun-tahun diabaikan sebelum mereka didiagnosis dengan tepat atau menerima rencana perawatan yang efektif.
Kesenjangan migrain itu nyata dan bukan sekadar masalah sakit kepala. Kesenjangan ini mencerminkan bagaimana rasa sakit yang dialami perempuan telah diminimalkan selama beberapa dekade. Biologi membuat perempuan lebih rentan terhadap migrain.
Namun, bias, pengabaian, dan kurangnya penelitian membuat mereka menderita lebih dari yang seharusnya. Sudah saatnya sistem medis mengikuti perkembangan sains yang mencerminkan realitas, dan perawatan yang benar-benar mendengarkan.