Bisnis.com, BANGKOK — Penyebaran virus yang menjangkit pernapasan, yakni Respiratory Syncytial Virus atau RSV kerap terjadi kepada anak-anak, padahal terdapat risiko penyebaran di kelompok lansia. Pencegahan yang tepat diperlukan agar kualitas hidup pada masa tua terus terjaga.
Ketua Divisi Imunologi dan Penyakit Paru Interstisial Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Fariz Nurwidya menjelaskan bahwa RSV adalah virus pernapasan yang menular melalui inhalasi atau kontak dengan sekresi pernapasan. Individu yang terinfeksi RSV dapat merasakan gejala pada pernapasan atas maupun bawah.
Masalahnya, gejala infeksi RSV cenderung mirip dengan infeksi pernapasan lain seperti flu biasa, batuk, pilek, dan demam. Ada pula gejala hidung tersumbat, mengi atau suara terus menerus dan kasar saat bernapas, serta demam ringan.
"Setelah mereka terinfeksi RSV, mereka cenderung menunjukkan gejala yang lebih berat. Mereka membutuhkan alat pengontrol yang lebih banyak, juga lebih sering mengalami eksaserbasi [gejala pernapasan memburuk atau kambuh]," ujar Fariz dalam acara RespiVerse, Kamis (12/12/2024) malam di Bangkok, Thailand.
Fariz yang merupakan dokter spesialis pulmonologi menjelaskan bahwa diagnosis infeksi RSV membutuhkan tes khusus yang memerlukan waktu dan biaya, serta kerap tidak mudah diakses secara luas.
RSV dapat menjangkit individu kapan saja, tetapi penyebarannya lebih intensif saat musim hujan, yakni pada September hingga Februari—mencapai puncaknya pada bulan-bulan dingin dari Oktober hingga Desember.
Menurut Fariz, virus itu sangat mudah menular dan menyebar di rumah tangga karena angka reproduksinya (R0) mencapai 3,0, yang berarti satu orang terinfeksi bisa menularkan virus itu ke tiga orang lainnya. Individu yang terinfeksi dalam menularkan virus dalam 3—8 hari, tetapi jika orang lanjut usia (lansia) yang terinfeksi, bisa menularkannya dalam jangka waktu lebih lama.
Fariz menuturkan bahwa lansia dan individu dengan penyakit penyerta seringkali tidak menyadari gejala mereka disebabkan oleh RSV, sehingga meningkatkan risiko komplikasi. RSV yang kerap digambarkan sebagai penyakit anak-anak, rupanya bisa menjangkit dan menimbulkan beban lebih besar kepada lansia, karena sistem kekebalan tubuhnya yang lemah.
Riset menunjukkan bahwa kejadian rawat inap dan kematian akibat RSV pada lansia lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak. Lansia dengan kondisi tertentu seperti pneumonia, gagal jantung kongestif (CHF), asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki risiko rawat inap yang lebih tinggi ketika terinfeksi RSV.
Satu dari empat pasien RSV (24,5%) mungkin memerlukan perawatan profesional di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Selain itu, satu dari empat (26,6%) pasien tersebut dirawat kembali dalam waktu tiga bulan setelah keluar dari rumah sakit.
Lebih memprihatinkan lagi, tiga dari sepuluh (33%) dapat meninggal karena komplikasi yang terkait dengan RSV dalam waktu satu tahun sejak waktu hospitalisasi.
Bagaimana kondisinya di Tanah Air? Kejadian infeksi RSV di Indonesia diperkirakan mencapai 6,1 juta kasus dalam tiga tahun ke depan, mencapai lebih dari 40% perkiraan kejadian di Asia Tenggara yang mencapai 15,2 juta kasus 3 tahun ke depan.
"Kami mencatat peningkatan tingkat positif kejadian RSV di antara subjek yang diuji pada 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Temuan ini menunjukkan beban infeksi RSV yang signifikan, yang menggambarkan 'fenomena gunung es', di mana jumlah kasus terdeteksi hanya sebagian kecil dari keseluruhan kasus yang sebenarnya terjadi di populasi," ujar Fariz yang meraih PhD dari Juntendo University.
Hingga saat ini belum tersedia pengobatan khusus untuk mengatasi RSV pada orang dewasa, yang menambah tantangan penanganannya. Dengan populasi lansia Indonesia yang terus meningkat, potensi beban kesehatan dan ekonomi akibat RSV pada orang dewasa perlu menjadi perhatian serius.
Seiring dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan angka harapan hidup rata-rata masyarakat Indonesia, pencegahan RSV melalui vaksinasi dan edukasi menjadi langkah penting untuk mengurangi dampaknya, terutama pada kelompok berisiko tinggi.
Associate of the Center of Excellence Srinagarind Hospital Khon Kaen University Thailand, Pailin Ratanawatkul juga menjelaskan bahwa tidak semua penyakit akibat virus telah tersedia obatnya. Di Thailand, belum terdapat obat bagi pasien dengan penyakit akibat RSV, sehingga pengobatan bukanlah solusi utama.
"Itulah mengapa kami ingin mencegah infeksi, daripada mengobati ketika terjadi komplikasi," ujar Pailin dalam acara RespiVerse.
Pada musim hujan seperti saat ini, di Thailand hampir separuh dari ruangan Intensive Care Unit (ICU) diisi lansia yang terjangkit infeksi virus. Bukan hanya penyakit pernapasan, Pailin menjelaskan bahwa mereka dapat mengalami gangguan detak jantung sehingga mengganggu tidur, dampaknya pun masih bisa terasa beberapa bulan ke depan.
"Jika kita bisa mencegah, atau setidaknya menekan dampaknya, itu lebih baik untuk dilakukan," ujar Pailin.
Vaksinasi dan gaya hidup sehat dapat menjadi sejumlah cara untuk mencegah infeksi RSV dan berbagai komplikasi penyakit akibat virus.
Isu Penyakit Pernapasan Dibahas dalam RespiVerse
Isu RSV menjadi salah satu pembahasan Fariz, Pailin, dan para pakar kesehatan internasional dalam pertemuan RespiVerse di Bangkok, Thailand, pada 13—14 Desember 2024. Pertemuan tahunan itu diselenggarakan oleh perusahaan farmasi GlaxoSmithKline atau GSK.
Lebih dari 200 dokter dan tenaga kesehatan dari 17 negara berkumpul dalam forum tersebut untuk membahas tantangan global yang mendesak dalam penyakit pernapasan, dengan fokus pada solusi inovatif dan strategi kolaboratif untuk memajukan kesehatan pernapasan di seluruh dunia.
Panel ahli membahas empat patologi pernapasan utama: asma sedang, asma berat, PPOK, dan RSV. Mereka berbagi soal temuan dan kondisi di negaranya untuk didiskusikan dengan para ahli.
Regional Medical Lead of Biologics Emerging Market GSK Gur Levy menjelaskan bahwa pihaknya bekerja sama dengan dokter spesialis dan ahli dari seluruh dunia untuk menciptakan program unggulan yang bertujuan meningkatkan kualitas perawatan klinis dan hasil pengobatan baru bagi jutaan pasien dengan penyakit pernapasan.
"Kami meneliti dan mengembangkan vaksin, produk biologis, dan obat inhalasi untuk mengatasi penyakit pernafasan seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik [PPOK], dan Respiratory Syncytial Virus [RSV]. GSK memanfaatkan teknologi terbaru untuk mengatasi penyebab utama penyakit ini dan mencegah perburukan, sehingga pasien mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih sehat," ujar Gur Levy.
Pertemuan RespiVerse tahun ini menghadirkan pembicara dan peserta internasional terkemuka dari berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, Amerika Latin, Amerika Tengah, dan lainnya. Acara ini mengintegrasikan sains, teknologi, dan keahlian untuk mengidentifikasi tantangan klinis utama di bidang pernapasan.
Tujuannya, mengembangkan konten ilmiah dalam rangka memperluas pengetahuan serta meningkatkan praktik profesional dokter paru di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.