Bisnis.com, JAKARTA—Dalam kondisi serba terbatas ini, dunia kedokteran di Indonesia dikejutkan dengan ditemukannya alat terapi kanker yang diberi nama Electro Capacitive Cancer Treatment oleh anak bangsa Indonesia, Warsito P. Taruno dari C-Tech Laboratories.
International Agency for Research on Cancer (IARC), sebuah badan dibawah WHO pada tahun 2008 memperkirakan penderita kanker bertambah sebanyak 12,7 juta orang tiap tahun, dan menyebabkan kematian pada 7,6 juta orang, atau 21.000 kematian per hari. Modalitas terapi kanker yang saat ini telah diterima secara luas di dunia kedokteran adalah tindakan operasi, kemoterapi, dan radioterapi.
Meskipun didukung berbagai penelitian dan penemuan ilmiah, namun sampai sekarang ketiga modalitas terapi kanker tersebut masih mempunyai keterbatasan efektifitas, adanya efek samping yang terkadang cukup berat, dan biaya yang mahal. Di Indonesia, penderita kanker menghadapai berbagai macam kendala, hingga banyak yang datang berobat dalam keadaan lanjut, dan efektifitas terapi menjadi sangat rendah.
Banyak kalangan kedokteran menganggap temuan seorang pakar tomografi lulusan Jepang menemukan ini tidak memiliki landasan ilmiah terhadap temuannya tersebut.
Contohnya, Sahudi Salim, seorang dokter yang pada akhir masa pendidikan doktoralnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga melakukan penelitian untuk menjembatani kontroversi ilmiah di bidang terapi kanker di Indonesia ini.
Sahudi membuktikan adanya peningkatan prosentase kematian sel yang diberi pajanan alat terapi kanker ECCT, serta mengungkap mekanisme patologi molekulernya. “Kami melakukan penelitian eksperimental laboratorik in vitro, menggunakan Rancangan Acak Kelompok,” kata Sahudi dalam siaran pers.
Dia menambahkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pajanan medan listrik voltase rendah, dengan frekuensi menengah dari alat terapi kanker ECCT dan pengukuran variable yang dilakukan setelah pemberian perlakuan. Tiga macam kultur sel kanker yang digunakan adalah sel Hela, sel Kanker Rongga Mulut, dan sel Mesenkim Sumsum Tulang.
“Kultur sel dibagi menjadi dua kelompok dengan masing-masing 8 replikasi, yaitu kelompok perlakuan yang dipajan dengan ECCT selama 24 jam dan kelompok kontrol. Setelah 24 jam. Kemudian jumlah sel hidup dan sel mati dihitung dengan menggunakan pewarnaan Tryphan Blue, serta diperiksa ekspresi protein TubulinA, Cyclin B, p53, dan Ki-67,” papar Sahudi.
Hasil penelitian Sahudi ini kemudian dibuktikan oleh bimbingan seorang professor bernama David S. Perdanakusuma dan Fedik Abdul Rantam yang menunjukkan medan listrik AC bertegangan rendah dengan frekuensi menengah yang dikeluarkan oleh alat ECCT dapat mematikan sel kanker melalui mekanisme kehancuran sel (mitotic catastrophe).
Kelompok sel yang diberikan pajanan ECCT menujukkan jumlah kematian sel yang lebih banyak secara bermakna dibanding dengan kelompok kontrol, terjadi baik pada sel kanker maupun sel non kanker.
“Sel kanker yang dipajan dengan ECCT selama 24 jam akan meningkatkan ekspresi tubulin A, cyclin B1, p53, dan Ki-67 secara signifikan dibandingkan dengan kontrol,” ungkapnya.
Dengan demikian penelitian ini membuktikan ECCT dapat membunuh sel kanker secara signifikan, sedangkan sel non-kanker seperti sel mesenkim sumsung tulang masih dapat tetap hidup. Ini berarti penggunaan ECCT hanya akan membunuh sel kanker saja, tidak mengganggu kehidupan sel-sel lain yang dibutuhkan tubuh.
Dia berharap penelitian lanjutan terhadap ECCT dapat lebih banyak dilakukan oleh peneliti kedokteran karena memberikan harapan baru bagi penderita kanker.