Bisnis.com, JAKARTA - Protein dibutuhkan sebagai zat pembangun tubuh, terutama sangat penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan pada seribu hari pertama kehidupan (HPK) sejak janin berada dalam kandungan.
“Mencukupi kebutuhan protein anak-anak (di Indonesia) bukan hanya melalui susu”, kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam keterangan persnya.
Dia mengatakan ada makanan lain yang memiliki nilai gizi sama tak kalah dengan susu, dan pasokannya jauh lebih berlimpah untuk mencukupi kebutuhan seluruh anak di Indonesia. Makanan itu adalah ikan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang (PGS) dinyatakan bahwa susu termasuk dalam kelompok lauk pauk sumber protein bersama ikan, telur, unggas, daging dan kacang-kacangan serta hasil olahannya (tahu dan tempe).
Dia menegaskan protein hewani dan nabati perlu dikonsumsi bersama jenis pangan lainnya, agar jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi mencapai gizi seimbang sesuai rekomendasi pedoman gizi seimbang. Secara umum komposisi protein hewani pada ikan sebenarnya tidak terlalu berbeda kandungannya dengan protein hewani lainnya.
Namun, ikan dikatakan lebih menyehatkan karena lemak yang terkandung di dalam ikan bukan merupakan lemak jenuh. Sebagai salah satu sumber protein hewani, ikan mengandung asam lemak tak jenuh (omega, yodium, selenium, fluorida, zat besi, magnesium, zink, taurin, serta coenzyme Q10).
Baca Juga Bos IMF Terkesima Dengan Tanah Abang |
---|
Selain itu, kandungan omega 3 pada ikan jauh lebih tinggi dibanding sumber protein hewani. “Sumber protein ikan memiliki kelebihan dibandingkan susu. Ikan tidak hanya mengandung protein, namun juga mengandung senyawa yang alami, yakni PUFA, EPA dan DHA”, katanya.
Pada sumber protein ikan, harga tidak menentukan kualitas, baik ikan dengan harga murah maupun ikan mahal tetap bernilai gizi tinggi. Sebagai contoh, ikan kembung yang harganya terjangkau justru memiliki kandungan omega 3 sebanyak 1,5 kali lebih tinggi dari ikan salmon yang harganya justru lebih mahal.
Promosi konsumsi susu setiap hari untuk anak usia sekolah cukup baik. Namun gagasan yang menjadikan susu sebagai konsumsi harian masyarakat Indonesia perlu ditunjang kajian yang lebih mendalam.
Hal ini didasarkan pada perlunya perhatian terhadap adanya data prevalensi intoleransi laktosa yang cukup tinggi, di samping risiko kejadian alergi susu, serta besarnya risiko kontaminasi susu yang tidak disajikan atau disimpan secara tepat sehingga berdampak pada kejadian penyakit yang dihantarkan melalui makanan.
Sementara itu dari sisi ekonomi, susu yang difortifikasi harganya akan menjadi lebih mahal, sehingga tidak semua masyarakat dapat menjangkau. Maka saat ini banyak dijumpai kelompok masyarakat tertentu yang gemar mengonsumsi susu kental manis atau krimer karena harganya yang murah. Namun perlu diperhatikan bahwa kandungan gula dalam produk tersebut sangat tinggi.
Hal lainnya adalah data Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (2016) yang mengungkapkan fakta bahwa produksi susu pada 5 tahun terakhir menurun rata-rata 1,03% per tahun atau sekitar 847.090 ton. Sehingga tahun 2017 hingga 2020 diperkirakan Indonesia defisit susu sebesar 71.000 hingga 103.000 ton.
Sementara itu produksi ikan dalam negeri juga lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu dalam negeri. Hal ini menjadi dasar pemerintah menyatakan bahwa ikan justru sangat bisa menjadi sumber protein yang lebih sustainable bila dibandingkan dengan susu.