BISNIS.COM, JAKARTA – Garin Nugroho, sutradara asal Indonesia, didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya menggelar Selendang Merah, akhir kisah dari trilogi Opera Jawa, di Solo dan Jakarta April 2013.
Gelaran diadakan di Teater Besar, Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, pada 7 April 2013 dan di Teater Jakarta pada 13-14 April 2013. Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, mengatakan Garin mampu merepresentasikan persoalan sosial dan budaya Indonesia, meramunya dalam sebuah konsep seni pertunjukan. Terbukti, Garin membuat dua judul Opera Jawa sebelumnya, yakni Iron Bed dan Tusuk Konde.
“Setelah kami melihat konsep cerita yang akan dibawakan pada lakon kali ini, Selendang Merah, kami yakin Garin mampu menghipnotis penonton untuk masuk ke dalam imajinasinya melalui kolaborasi kebudayaan Jawa tengah dan Jawa Timur yang kental. Ini akan menjadi tontonan yang menarik dan edukatif,” tutur Renitasari lewat siaran pers yang diterima Bisnis, Selasa (2/4/2013)
Opera Jawa trilogi ketiga ini mengisyaratkan dunia yang jungkir balik. Ketika perilaku manusia sudah tidak dapat dikendalikan lagi, sementara yang berkuasa tidak berpihak pada kaum lemah, maka semua kehidupan layaknya sirkus, serba jungkir balik penuh tragedi dan tak terduga.
Jika Opera Jawa pertama menggunakan medium utama ranjang dan Opera Jawa kedua menggunakan medium kukusan dan tusuk konde, medium utama Opera Jawa ketiga adalah selendang merah. Garin menuturkan selendang mempunyai arti dan peran khusus dalam seni pertunjukan Indonesia terlebih di Jawa. Maka muncul banyak pengertian penuh beragam makna berkait dengan kata selendang alias sampur dalam Bahasa Jawa.
“Dalam pertunjukan ini, selendang itulah yang membawa dunia jadi jungkir balik, maka semua tak lagi pada tempatnya,” ujar Garin.
Kehidupan rakyat Jawa sehari-hari yang lekat dengan budaya kesenian rakyat seperti, Tayub, Ledhek, Joged, Ronggeng, Cokek, Lengger,dengan berbagai istilah dan bentuk pertunjukannya. “Kata ‘ketiban sampur’ misalnya, bisa diartikan harafiah sebagai ajakan berjoged, tapi juga mempunyai beragam makna terkait dengan kehidupan sehari-hari. Dan ‘ketiban sampur’ menjadi banyak makna jika diartikan sebagai diberi penghormatan, berkah, kesempatan, akan tetapi juga beban, masalah, diajak sesuatu yang tidak bisa ditolak.
Trilogi Opera Jawa sesungguhnya meletakkan Jawa sebagai multikultur di tengah multikultur Indonesia. Maka, meski berfokus Jawa, tetaplah muncul unsur-unsur dari ke-Indonesia-an, misal unsur budaya Minang hingga Nias.(msb)