Bisnis.com, JAKARTA - Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, pada Sabtu siang, akhir Juni lalu, Fahrul Rozy Najib terpukau. Terlintas dalam pikirannya, “Waaah…Besar. Besarnya pasti seluas Labuha.”
Laki-laki usia 12 tahun, yang saat ini bersekolah di kelas 2 MTs Al-Khairat Labuha, Halmahera Selatan, Maluku Utara, tinggal jauh sekali dari Ibu Kota Negara Indonesia.
Dia berangkat menuju Ternate selama 8 jam menggunakan kapal. Menginap semalam, perjalanan dilanjutkan menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, lalu terbang hampir 2 jam menuju Jakarta.
Ini merupakan pengalaman pertamanya keluar sangat jauh dari rumah. “Tapi saya harus berani. Tak bisa, harus bertanya. Sejak awal kami ditugaskan menjadi anak mandiri,” ujarnya dengan logat timur yang sangat kental.
Ayul, panggilan akrabnya, bertemu dengan sembilan kawan lainnya dari daerah berbeda dalam program Sabang Merauke (Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali), di Jakarta.
Selama 2 pekan (29 Juni-14 Juli), mereka berbagi kisah, merajut mimpi, mengenal berbagi, dan belajar mencintai kebinekaan Indonesia. Kata Ayul, ada tiga nilai yang senantiasa diulang dan ditanamkan, yakni pentingnya pendidikan, toleransi, dan ke-Indonesia-an.
Berbagai kegiatan yang melingkupi ketiga nilai tersebut terus dijalani oleh Ayul dan kawan-kawan, mulai dari belajar tentang internet, budaya, sejarah, dan musik. Mereka bertemu dengan berbagai profesional, veteran perang, anak berkebutuhan khusus, mahasiswa berprestasi, sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Tinggal bebarapa hari di Jakarta membuat Ayul terkagum-kagum dengan kepadatan dan megahnya bangunan, yang tentu jauh berbeda dengan kampung halamannya.
“Saya naik mobil. Ada jalan tol, ada banyak gedung. Jalan bagus. Berbeda sekali dengan di Labuha. Saya kaget dengan macet. Pertama kali naik mobil, macet. Besok macet lagi. Macet terus. Di Labuha lancar. Mobil jarang,” tuturnya bersemangat.
Baginya dan teman-teman Sabang Merauke lain, banyak sekali manfaat yang diperoleh melalui kegiatan pertukaran pelajar ini.
Di Jakarta, Anak sabang Marauke (ASM) diberikan kesempatan untuk datang ke Universitas Indonesia dan bertemu salah satu mahasiswa berprestasi yang berasal dari desa. Ayul sangat mengingat pertemuan tersebut.
“Saya juga orang desa. Teman-teman saya banyak yang tidak melanjutkan sekolah. Banyak yang berhenti saat lulus SD. Saya akan bilang pada mereka bahwa tidak ada halangan orang miskin untuk belajar,” katanya.
Dijawab oleh temannya, “Orang miskin sekolah setengah-setengah. Hanya bisa di desa, tidak bisa ke kota,” ujar Ayul menirukan perkataan temannya.
“Saya lalu bilang, tidak usah pikirkan itu. Belajar saja, pasti ada jalan,” katanya tegas.
Meskipun begitu, tak serta-merta teman-temannya lalu mengikuti perkataan Ayul. Menyadari hal tersebut, Ayul tak kunjung menyerah dan tetap semangat membagi virus positif tentang pentingnya pendidikan kepada lingkungan sekitarnya.
Cerita lain diungkapkan oleh Ni Made Novi Dian Sari. Pelajar kelas 3 SMPN 2 Semarapura Klungkung, Karangasem, Bali, tersebut begitu bersemangat setelah bertemu dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di Balai Kota DKI Jakarta.
Dalam rangkaian kegiatan yang ada, ASM diberi kesempatan untuk mendengarkan pengalaman dari Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut. Novi merasa pertemuan sekitar 1 jam itu telah memberikan inspirasi bagi dirinya.
“Pak Ahok menceritakan tentang kehidupannya. Saya belajar bahwa hidup itu seperti roda kehidupan, kadang di atas kadang di bawah. Saya bangga bisa bertemu Pak Ahok,” katanya.
Sebagai perempuan beragama Hindu, Novi mengaku tidak merasa kesulitan dalam beribadah selama menghabiskan waktu bersama keluarga asuhnya Pak Ibrahim yang merupakan keturunan Pakistan.
Belajar untuk saling menghargai perbedaan yang ada, Novi menjalankan ibadah seperti biasa setiap dua kali sehari, pagi dan petang hari. “Pak Ibrahim,” ucapnya, “Sangat baik. Dia menyedikan tempat ibadah untuk saya, mengajarkan mengenai hidup sehat, dan kedisiplinan.”
Dibalik kisah selama 2 minggu ini, banyak sukarelawan yang turut menyumbangkan uang, tenaga, waktu, juga kasih sayang, kepada 10 anak daerah yang luar biasa tersebut. Lilik Kumalawati, ibu dari tiga orang anak ini, bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara bagi salah satu ASM, Ferdinand Titus.
Pada awalnya, cerita Lilik, Ferdinand merasa canggung, menahan diri, dan tertutup. Mungkin, sambungnya, karena latar belakang yang begitu berbeda. Seiring waktu, Ferdinand semakin percaya diri dan menjadi sahabat dekat anak laki-laki Lilik yang duduk di kelas 5 SD.
“Ferdinand itu anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang tinggalnya di Sabah (Malaysia). Kami pesan kepadanya untuk terus belajar dan tidak putus sekolah. Kalau ada kesempatan, kami mau membiayai sekolahnya,” kata dia.
Program yang dinisiasi oleh tiga pemuda (Ayu Kartika Dewi, Dyah Widiastuti, dan Aichiro Suryo Prabowo) yang begitu peduli pada masalah pendidikan ini terbukti membawa rasa syukur bagi setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
Dyah mengatakan program Sabang Merauke akan terus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. Mungkin dengan jumlah anak yang lebih banyak, waktu yang lebih lama, dan melibatkan lebih banyak pihak.
“Meski adik-adik sudah pulang, kami terus menjalin komunikasi dengan mereka. Kami harap mereka bisa menyebarkan nilai-nilai positif di daerah mereka masing-masing,” tuturnya sambil mengenang.
Aichiro, salah satu penggagas lainnya berkata, “Ini baru pertama kali, baru 10 anak. Hanya sepersekian dari cita-cita kami untuk membawa seribu anak bangsa terlibat dalam program ini. Kami harap program serupa akan muncul di setiap bagian Indonesia lainnya.”