Bisnis.com, JAKARTA- Awal 2013 lalu, TB (62) dan DW (63) terjadi adu mulut. Kedua saudara kandung itu terlibat cekcok gara-gara permasalahan tanah warisan orangtua. Kejadian bermula saat TB mendengar kabar tanah miliknya akan dijual oleh DW.
Tanah yang diperebutkan itu memiliki luas 56 meter persegi. Awalnya memang tanah itu milik DW berupa jatah warisan dari orangtuanya. Namun, DW meminta untuk menukar tanah miliknya dengan tanah warisan untuk jatah TB, adiknya lantaran lokasi tanah TB berada dekat dengan rumah kediaman DW. Pada 1990-an, keduanya sepakat untuk menukar tanah warisan mereka dengan ukuran yang sama.
Namun, tanpa hujan tanpa angin, kabar akan dijualnya tanah milik TB oleh DW terdengar. TB memastikan apakah kabar tersebut hanya lelucon atau serius. Dia pun berunding terlebih dahulu dengan seluruh anggota keluarganya. TB meminta masukan dari anak dan istrinya sebelum menghadap DW untuk membereskan kasus tersebut secara kekeluargaan.
Pihak TB juga mengumpulkan beberapa saksi dari kerabat yang hadir saat proses perjanjian dulu. Sayang, bukti resmi tertulis tidak ditemukan, sehingga kasus tersebut cukup sulit untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan berbagai penjelasan dari saksi, tanah milik keduanya kembali menjadi milik masing-masing sesuai perjanjian penukaran.
Akibat permasalahan tersebut, hubungan persaudaraan keduanya menjadi renggang beberapa saat. Beruntung beberapa pihak dari kerabat dan tetangga mencoba memberikan solusi. Hingga akhirnya mereka berdua kembali akrab laiknya saudara.
Konflik warisan memang cukup sensitif terjadi di sejumlah keluarga. Terkadang perseteruan hingga adu fisik tak jarang ditemukan. Apalagi menyangkut harta warisan yang sebagian kalangan menilai harus dibagikan secara adil. Sementara kultur di Indonesia sendiri masih kuat dengan norma agama. Agama Islam misalnya dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 11, 12 dan 176 menyebutkan tentang pembagian warisan sesuai syariat.
Jenis konflik keluarga inilah yang seharusnya ditangani lebih bijak dan dewasa. Apabila tidak diatasi dengan baik dengan proses kekeluargaan, bisa-bisa menyebabkan pertikaian hingga permusuhan dan putusnya tali silaturahmi antar saudara.
“Di saat konflik warisan terjadi pada sebuah keluarga, satu-satunya jalan adalah mencari sosok mediator yang bijaksana dan mampu berpikir dewasa,” ujar Efnie Indrianie, dosen psikolog Universitas Maranatha kepada Bisnis.
Efnie menambahkan survey membuktikan tidak sedikit pertikaian antar keluarga banyak disebabkan oleh permasalahan harta warisan. Meskipun survey tersebut belum diketahui jumlahnya secara pasti, jenis konflik ini disebut sebagai pemicu keretakan keluarga.
Untuk itu, dia berpesan mediator dari permasalahan konflik warisan ini sebaiknya didatangkan dari pihak internal keluarga. Langkah pertama yang harus dilakukan saat menghadapi masalah adalah membuat kedua belah pihak duduk bersama.
Akan tetapi, lanjutnya, mediator diusahakan untuk tidak membicarakan kasus pembagian warisan yang tengah terjadi. Namun, sebisa mungkin menghadirkan kembali masa-masa romantisme persaudaraan yang telah dibangun sejak lama oleh orang tua mereka.
“Diusahakan mediator agar mampu meredam emosi kedua pihak yang bertikai. Waktunya memang cukup lama, bisa menghabiskan sekitar satu bulan proses yang harus dilakukan. Jika emosi keduanya sudah dingin dan reda, baru mediator mengajak untuk membicarakan soal pembagian harta warisan yang menjadi polemik tersebut,” katanya.
Dia menegaskan langkah tersebut dinilai cukup baik dibanding pihak keluarga menghadirkan mediator dari pihak luar. Selain psikolog yang mampu meredakan suasana hati kedua pihak, Efnie juga mengimbau agar pemuka agama dilibatkan pada konflik tersebut. “Tokoh agama juga perlu dihadirkan di saat kedua pihak sudah sama-sama paham duduk perkaranya,” ujarnya.
Efnie menyebutkan setidaknya kasus konflik warisan di tubuh keluarga ini menjadi penting untuk dicermati. Survey 1-2 dari 5 keluarga yang terlibat perseteruan konflik warisan menjadi contoh betapa perlunya seorang mediator atau penengah sebuah permasalahan. Berdasarkan analisa psikologi, mediator sendiri, khususnya dari pihak internal pihak yang bertikai, diharapkan sudah berusia 35 tahun.
“Karena jika seseorang yang sudah berusia 35 ke atas, dia cenderung memiliki pola pikir matang dan dewasa. Artinya setidaknya bisa mengatasi permasalahan di tengah keluarga yang sedang bertikai,” paparnya.