Show

Ibu, Kematangan Akting Sari Madjid, Andalan Teater Koma

Lahyanto Nadie
Jumat, 1 November 2013 - 16:33
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Menyaksikan lakon Ibu suguhan Teater Koma tak sehebat yang saya bayangkan. Dibandingkan dengan RSJ, Sampek Engtay, Operasi Sembelit, Opera Primadona, Opera Ular Putih, suguhan Ibu kurang menghibur. Namun akting Sari Madjid sebagai pemeran utama Ibu Brani patut diacungi jempol: matang, berkarakter.

Ibu, produksi ke-131 Teater Koma, adalah sebuah lakon yang diadaptasi dari karya Bertolt Brecht, Mother Courage and Her Children memang merupakan salah satu lakon sandiwara terbaik abad 20.

Sebenarnya ceritanya cukup menarik. Dimulai dari penampilan Anna Pirling, dijuli Ibu Brani (Sari Madjid). Ia ditemani tiga anaknya, Elip (Rangga Riantiarno), Fejos (Muhammad Bagya) dan si bungsu yang bisu, Katrin Hupa (Ina Kaka). Mereka berempat menjadi saksi membusuknya kemanusiaan.

Ibu Brani adalah seorang pedagang yang menjajakan komoditasnya dengan gerobak. Bukan kuda yang menarik kereta itu, melainkan dua pemuda berpeluh keringat mendereknya. Kereta itu melintasi wilayah penuh kehancuran, diporakporandakan konflik berkepanjangan. Resimen Matahari Hitam dan Matahari Putih, dua pihak yang berebut kekuasaan.

Kereta terus merangkak maju, menjajakan barang dagangan mulai dari bir sampai baju, sosis hingga selongsong peluru.

Di tengah peperangan Ibu Brani memanfaatkan situasi mencari untung. Ia tak peduli pihak mana yang membeli dagangannya, asalkan punya uang. Prinsip hidupnya, ia tak mau terlibat konflik namun harus memperoleh untung dari peperangan itu.

Malang tak dapat ditolak. Elip dan Fajos direkrut masuk tentara. Ibu Brani kini hanya memiliki Katrin. Ibu berjanji akan mencarikan suami bagi Katrin saat perdamaian tiba. Dia tidak mau Katrin bernasib seperti Ipit Poter, wanita jalang langganan warung Ibu Brani.

Soal kisah cinta Ibu Brani juga mewarnai makin serunya drama ini. Dua orang pria--pendeta dan koki--mengaguminya. Kaplan, sang pendeta dari Resimen Matahari Hitam yang menyamar jadi pelayan warung Ibu Brani ketika Matahari Putih menyerang.

Domba Si Koki alias Pieter Si Pipa, tukang masak seorang jenderal Matahari Hitam, lelaki mata keranjang yang sudah menggombali banyak wanita. Keduanya berupaya mendapatkan hati sang Ibu.

Sandiwara ini akan menjawab pertanyaan nasib anak-anak Ibu Brani yang direkrut masuk tentara. Begitu pun nasib Katrin, apakah ia bisa mendapatkan suami? Bagaimana pula kisah cinta Ibu Brani memutuskan dua pria yang mengaguminya? Apakah ia memperoleh keuntungan ketika perang usai? Menarik mengikuti cerita teater dengan pimpinan produksi Ratna Riantiarno ini.

Seperti biasanya, karya Teater Koma memang sarat kritik sosial dan menghibur. Tarian dan nyanyian selalu menjadi suguhan yang menarik ditimpali dialog berkarakter dari setiap pemeran. Namun kurang menyentuh dibandingkan dengan RSJ atau tak lebih kocak dari Sampek Engtay.

Namun karya drama ini tetap enak ditonton. Seperti kata N. Riantiarno, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptakanya kebagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, bisa menjadi salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan hati nurani. Sikap saling menghargai perbedaan, saling menghargai sesama.

Suguhan teater yang didirikan di Jakarta 1 Maret 1977, ini bisa dinikmati hingga 17 November mulai Senin sampai Sabtu pukul 19.30 WIB. Minggu 13.30 WIB di Graha Bhakti Budaya, PKJ Taman Ismail Marzuki.

 

Penulis : Lahyanto Nadie
Editor : Lahyanto Nadie
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro