Bisnis.com, JAKARTA- Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan untuk peningkatan penjangkauan layanan penyakit tuberculosis (TB) yang berkualitas menggunakan penekanan pada pendekatan penguatan sistem.
Hal itu, katanya, dicerminkan dalam enam pilar pelaksanaan penguatan Kemitraan Public Private Mix, yaitu:
Pilar 1: Penguatan layanan DOTS dasar di Puskesmas yang meliputi penguatan sistim surveilans berbasis web, peningkatan kapasitas manajemen informasi untuk tindak lanjut.
Peningkatan kualitas layanan TB berkualitas, peningkatan cakupan TBHIV, peningkatan penjangkauan kasus pada wilayah daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, peningkatan rujukan kasus, peningkatan pelacakan kasus, dan upaya promotif preventif lainnya.
Pilar 2: Penguatan layanan DOTS di seluruh rumah sakit baik pemerintah maupun swasta. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memasukkan strategi DOTS sebagai salah satu komponen penilaian untuk Akreditasi Rumah Sakit.
Selain itu dari sisi pelayanan telah disusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran TB. Hal ini merupakan upaya agar seluruh pemberi pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan TB sesuai standar, dan menjamin bahwa pasien akan ditangani dengan tatalaksana yang benar mulai diagnosis, pengobatan, pemantauan, dan evaluasi kesembuhan.
Pilar 3: Penguatan layanan DOTS di dokter praktek swasta (DPS) dan spesialis, pendekatan yang dilakukan adalah dengan penerapan International Standars for TB Care (ISTC), dan penerapan sistem rewards dan Sertifikasi untuk DPS.
Konsepnya adalah untuk ke depan hanya dokter yang mempunyai kompetensi sertifikasi TB saja yang diijinkan untuk mengobati pasien TB. Sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya akan menjaring suspek saja, dan mengirimkan ke fasyankes DOTS.
Untuk pendekatan ini, kata Tjandra, maka Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjadi leading sector. Selain itu juga dilakukan beberapa inisiatif baru berupa uji pendahuluan yang didukung oleh beberapa donor untuk pelibatan praktisi swasta di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Untuk ini Program Nasional Pengendalian TB bekerjasama dengan organisasi profesi (PDPI). Diharapkan nanti bisa diperluas ke provinsi lain.
Selain itu, Kementerian kesehatan (Ditjen PP dan PL) juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan (Ditjen Pendidikan Tinggi), dengan meluncurkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran, serta sudah disosialisasikan kepada 70 fakultas kedokteran di Indonesia.
Pilar 4: Diagnostik TB yang berkualitas merupakan hal yang menjadi perhatian utama, karena hal ini merupakan dasar kualitas dari program pengendalian TB. Pendekatan yang dilakukan adalah penguatan jejaring mutu eksternal dan internal pemeriksaan diagnostik TB, sebagai bentuk dari pemantapan mutu eksternal Laboratorium.
Selain itu mulai digunakan berbagai inovasi dan inisiatif baru dalam diagnosis TB, yaitu penggunaan alat diagnosis cepat yaitu Xpert MTB/Rif. Hingga akhir September 2013 telah digunakan di 17 lokasi, dan akan ditambahkan 24 lagi di beberapa tempat yang lain, didukung bantuan tehnis IMVS sebagai Laboratorium Supra National.
Pilar 5: Penggunaan obat anti TB (OAT) dan penggunaan secara rasional. Untuk upaya pencegahan kejadian TB MDR, maka harus didorong untuk penggunaan OAT secara rasional.
Pendekatan yang dilakukan terutama adalah dari sisi penegakkan hukum, yang semuanya terkait dengan semua kebijakan yang ada di Kementrian Kesehatan. Yaitu pelaksanaan one gate policy, penyusunan SOP untuk pengelolaan logistik OAT dan uji kualitas OAT.
Melakukan prakualifikasi WHO untuk OAT, mendorong keluarnya regulasi penggunaan OAT di pasaran, pelaksanaan post-marketing surveillance untuk TB, sertifikasi PPOM (Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan) sebagai laboratorium untuk quality assurance obat TB. Kegiatan ini melibatkan BPOM serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pilar 6 : Penguatan Sistem Komunitas. Komunitas adalah kekuatan yang besar dalam pengendalain TB, salah satu wujud nyata adalah mendukung komunitas untuk menjadi advokator untuk peningkatan komitmen pendanaan, peningkatan awareness masyarakat, mobilisasi sosial serta pelayanan TB di wilayah spesifik.
Hal yang nyata didapatkan adalah terbentuknya beberapa komunitas pasien, yang berfungsi sebagai pendukung bagi sesama pasien. Contoh paguyuban adalah Pamali TB, Japeti, PETA, dan lainnya.