Bisnis,com, BANDUNG - Kau kibarkan sorbanmu seperti mengibarkan bendera merah putih, atau celana dalam. Di setiap kibarannya ada ayat-ayat suci. Ada hadits, ada fatwa, dan berjuta teks amanat suci yang kau biarkan melayang di atas langit. Karena kau terlalu sibuk menjadi matahari bagi siang, dan terlalu sibuk menjadi rembulan bagi malam hari, dan kau begitu khusuk menikmati ketenaran selebritis.
Demikian sebagian larik dari bait puisi berjudul Ustadz Televisi karya Matdon, dalam buku kumpulan puisinya yang juga bertajuk Ustaz Televisi, terbitan Teko Publishing kerjasama Majelis Sastra Bandung (MSB) Publishing, Mei 2014.
Dalam buku ini, penulis yang juga seorang jurnalis di Bandung ini, memperlihatkan keprihatinannya dan mencoba mengkritisi atas fenomena banyaknya penceramah yang sering muncul di layar televise dan menyebut dirinya sebagai ustaz.
Para penceramah yang sering muncul di televise itu dan banyak menyampaikan pesan keagamaan, tetapi justru tingkah lakunya tidak mencerminkan diri seperti seorang ustadz, dan lebih pada seorang selebritis yang haus popularitas.
Banyak ustaz televisi yang gaya bicaranya seperti sedang tebar pesona di hadapan audience. Bermodal wajah ganteng dan kemampuan akting, para penceramah yang rata-rata masih muda itu telah berhasil menjadi fenomena baru sebagai ustaz yang juga selebritis.
Namun, celakanya banyak ustaz ini mabuk dengan popularitasnya sehingga membiarkan dirinya menjadi santapan pemberitaan infotainment, hingga terbukalah sisi-sisi negatif yang tak pantas disandang oleh seorang ustaz.
Anehnya lagi, ustaz itu justru terlihat menikmati popularitasnya yang dihasilkan melalui media televise tersebut. Acara kegamaan yang dibawakan para ustaz televise itu telah dipengaruhi oleh kepentingan bisnis dan rating.
