Bisnis.com, JAKARTA -- Tingginya kasus kanker hati di Indonesia belum diiringi oleh dukungan penuh dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lewat pertanggungan biaya dan pengobatan.
Rino A. Gani, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), mengatakan BPJS Kesehatan belum berperan besar dalam pengobatan pasien-pasien kanker hati.
Padahal, angkanya makin meningkat. Setiap tahunnya, ditemukan lebih dari 13.000 kasus kanker hati dengan jumlah kematian 12.825 jiwa.
"Insiden kanker hati di Indonesia naik dari tahun ke tahun. Sekitar 80% penderita kanker meninggal dunia, karena saat didiagnosa kanker hati pun sudah masuk stadium lanjut, tumor besar, terjadi sirosis, dan nonkuratif," kata Rino dalam diskusi Waspada Kanker Hati, Selasa (26/8/2014).
Tingginya kasus kanker hati, lanjut DR. dr. Rino, disebabkan penderita hepatitis di Indonesia yang diduga mencapai 30 juta jiwa.
Penyakit yang disebabkan virus ini paling banyak memicu pengerasan hati (sirosis) yang berujung pada kanker hati.
Peran pemerintah melalui BPJS Kesehatan dinilai Rino belum optimal.
Pasalnya, hanya beberapa terapi yang biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, seperti tindakan embolisasi dan operasi.
"Pengobatan dengan teknik ablasi dan pemberian obat sorefenib belum ditanggung. Kalau bisa ditanggung, penanganan terhadap pasien kanker hati bisa lebih baik," ujarnya.
Sorefenib merupakan obat terapi target untuk pasien kanker hati.
Berdasarkan hasil penelitian, obat ini dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, sehingga berpotensi memperpanjang masa hidup pasien kanker 4-5 bulan.
Sejak 2005, badan pengawas obat dan makanan (FDA) Amerika Serikat memberikan izin penggunaan Sorafenib untuk terapi pasien dengan kanker ginjal (advanced RCC).
Lantas pada 2006, badan pengawas obat dan makanan Eropa (EMEA) memberikan izin penggunaan Sorafenib untuk terapi pasien kanker hati.
Saat ini, Sorafenib telah diterima di lebih dari 100 negara di seluruh dunia.