Bisnis.com, JAKARTA – Liburan akhir tahun 2014 memberikan pengalaman eksotis saat menikmati perjalanan Kereta Api Mutiara Selatan Yogyakarta—Bandung dengan suguhan pemandangan 7 gunung di wilayah selatan Jawa Barat.
Kesulitan mendapatkan tiket pesawat dan kereta api Yogyakarta—Jakarta memaksa penulis untuk memutar otak guna mendapatkan transportasi yang nyaman usai liburan memanfaatkan Cuti Bersama 25—26 Desember 2014.
Tiket kereta Yogyakarta—Gambir rupanya sudah ludes dipesan para penumpang yang memanfaatkan liburan 4 hari Kamis—Minggu tersebut.
Pilihan akhirnya jatuh pada KA Mutiara Selatan relasi Yogyakarta—Bandung untuk diteruskan dengan Kereta Parahyangan relasi Bandung—Gambir, sembari memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan di Kota Kembang tersebut.
Kereta api (KA) kelas bisnis Mutiara Selatan berangkat dari Yogyakarta Minggu dini hari pukul 00:13 WIB.
Penulis sengaja memilih kereta ini agar dapat menikmati eksotisme pemandangan 7 gunung di jalur KA setinggi 800 meter di lintas selatan Jawa Barat. Ketujuh gunung itu adalah Galungung, Sawal, Cakrabuana, Haruman, Mandalawangi, Kaledong, dan Panglimanan.
Sebelum KA Mutiara Selatan, sebenarnya ada 4 jadwal kereta relasi Yogyakarta—Bandung, yaitu KA eksekutif-bisnis Lodaya Malam (berangkat 19:44, tiba 03:44 esok harinya), Lodaya Malam Tambahan (21:05—04:50), KA campuran eksekutif-bisnis-ekonomi AC Malabar (22:10—06:04), dan KA eksekutif Turangga (23:05—06:41).
Namun, keempat KA itu tidak dapat menikmati kemolekan 7 gunung tersebut, karena titik hotspot-nya dimulai dari Stasiun Tasikmalaya.
Waktu tempuh Yogyakarta—Tasikmalaya sekitar 5 jam 30 menit, sehingga 4 KA tersebut akan sampai di titik hotspot itu pukul 01:00—04:00 dan terlalu gelap untuk menikmati pemandangan alam pegunungan.
Kemolekan 7 Gunung
Tepat pukul 00:13 Minggu dini hari (28/12/2014), KA Mutiara Selatan relasi Surabaya—Bandung meninggalkan Stasiun Tugu, Yogyakarta yang berada di ketinggian +113 meter dari permukaan laut.
Lokomotif berhidung miring CC203 milik Dipo Lokomotif Bandung menghela 6 gerbong penumpang kelas bisnis berpendingin AC, yang diapit kereta makan di belakang lokomotif dan gerbong barang di posisi paling belakang.
Rute pemberhentian sebelum Bandung adalah Kutoarjo—Kebumen—Gombong—Banjar——Ciamis—Tasikmalaya— Cipeundeuy—Kiaracondong.
Penulis sengaja menghabiskan waktu untuk tidur, karena suguhan pemandangannya hanya kegelepan di balik jendela. Ketika terbangun, kereta tengah berhenti di Stasiun Ciamis sekitar pukul 05:15 WIB untuk melanjutkan perjalan ke Stasiun Tasikmalaya.
Kehidupan pagi hari di sepanjang Ciamis—Tasikmalaya terlihat dari balik jendela KA Mutiara Selatan, yang akhirnya berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di Stasiun Tasikmalaya (+349 meter) pukul 06:00 WIB.
Inilah momentum yang paling ditunggu-tunggu, karena merupakan Babak I dari “drama 7 gunung bumi Parahyangan”.
Pada bagian ini, sang ular besi jurusan Surabaya—Bandung ini akan melintasi tanjakan rute Tasikmalaya (+349 m)—Cipeundeuy (+772 m) sejauh 32 kilometer dengan melintasi stasiun Indihiyang (+348 m)—Rajapolah (+459 m)—Ciawi (+509,6 m)—Cirahayu (+619 m).
Suguhan dramanya adalah Gunung Galunggung, Gunung Sawal, dan Gunung Cakrabuana.
Setelah 10 menit meninggalkan Stasiun Tasikmalaya, kereta melintasi stasiun kecil Indihiyang (+348). Inilah penanda untuk melongok jendela guna menikmati kemegahan Gunung Galunggung (2.167 m) di sisi kiri dan Gunung Sawal (1.764 m) di sisi kanan.
Kita akan puas memandangi keanggunan Gunung Galunggung ketika kereta berjalan tidak terlalu kencang menanjaki rel untuk melintas di Stasiun Rajapolah (+459m).
Selepas Stasiun Ciawi (+509,6 m), jalur mulai berkelok-kelok menanjak sekitar 10 kilometer menuju pemberhentian di Stasiun Cipeundeuy sembari melewati Stasiun Cirahayu (+619 m).
Roda kereta terdengar meraung-raung saat menggerus bagian dalam rel di lintasan berkelok-kelok Ciawi—Cipeundeuy sepanjang 10 km tersebut.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit dari Tasikmalaya, KA Mutiara Selatan berhenti di Stasiun Cipeundeuy pukul 6:45 WIB.
Angin sejuk pegunungan langsung menerpa tubuh ketika pintu gerbong terbuka. Cipeundeuy adalah stasiun pemberhentian untuk penumpang kereta yang naik dan turun via Garut.
Kereta berhenti sekitar 5 menit, sehingga dari sisi kanan para penumpang secara leluasa dapat menikmati keanggunan gunung Cakrabuana (1.721 m).
Petualangan ular besi Mutiara Selatan pun berlanjut dengan medan yang cukup ekstrim, karena treknya meliuk-liuk dengan kombinasi turunan dan tanjakan untuk mencapai titik tertinggi di Stasiun Nagrek (+848 meter).
Lihat saja ketinggian stasiun yang harus dilalui sebelum menuju Nagrek, yaitu Bumiwaluya (+541 m), Warung Bandrek (+612 m), Cibatu (+612 m), Leuwigoong (+617 m), Karangsari (+617 m), Leles (+697 m), dan Lebakjero (+818m).
Ini adalah Bagian II atau terakhir dari “drama 7 gunung bumi Parahyangan” dengan sang aktor gunung Haruman, Mandalawangi, Kaledong, dan Panglimanan.
Sekitar 5 menit selepas Stasiun Karangsari (+617 m), sajian berikutnya adalah gunung Haruman (1.300 m) yang terlihat hijau di balik jendela sisi kanan.
Selanjutnya, rute Leles—Lebakjero menyuguhkan pemandangan Gunung Mandalawangi (+1.918 m) di sisi kiri dan Gunung Kaledong (+1.251 m) di sisi Kanan.
Momen berikutnya adalah perjalanan menuju titik tertinggi jalur kereta api Yogyakarta—Bandung, yaitu Stasiun Nagrek (+848 m).
KA Mutiara Selatan hanya melintas langsung stasiun tertinggi tersebut untuk menikmati aktor terakhir Gunung Panglimanan (1.073 m), yang disuguhkan di rute Nagrek—Cicalengka.
Drama 7 gunung bumi Parahyangan pun berakhir saat KA Mutiara Selatan tiba di Stasiun Bandung (+719 m) pukul 8:40 WIB atau terlambat 14 menit dari jadwal 8:26 WIB.
Panorama 7 gunung itu juga bisa Anda nikmati dari arah sebaliknya dengan kereta api yang berangkat pagi dari Bandung, yaitu kereta eksekutif-bisnis Lodaya (berangkat 7:00 WIB), Lodaya Tambahan (7:50 WIB), dan kereta eksekutif Argo Wilis (8:30).